Detik-detik Tumbangnya Kearifan Lokal

Kebudayaan bugis merupakan salah satu kebudayaan yang mulai terkikis seiring perkembangan zaman, banyak dari masyarakat bugis yang tidak mengacuhkan kebudayaan sendiri yang merupakan warisan dari leluhur. Kebanyakan dari mereka lebih memilih mengadopsi budaya asing yang dianggap lebih mencerminkan peradaban yang maju dibandingkan melestarikan kebudayaan lokal yang secara turun temurun diwariskan oleh para pendahulu.
Contoh kebudayaan bugis yang mulai memudar di masyarakat adalah seni tradisional dan permainan rakyat. Seni tradisional dan permainan rakyat dulunya sangat dekat dengan masyarakat, dulunya seni dan permainan tradisional dianggap sakral dan kadangkala menjadi salah satu syarat untuk melakukan suatu kegiatan tertentu. Misalnya mappaddekko yang menggambarkan ucapan syukur karena panen berhasil di daerahnya. Menumbuk padi tidak boleh dilakukan sebelum menggelar Mappaddekko karena karena padi mereka dapat berubah menjadi Cabbu’ (dedak) tetapi lama kelamaan hal ini dianggap ketinggalan zaman dan merupakan takhayul belaka meskipun masih ada yang masih mempertahankan.
Permainan rakyat yang memiliki fungsi sebagai media belajar selain sebagai hiburan sudah tidak dilirik lagi oleh anak-anak pada zaman sekarang ini, anak-anak lebih cenderung bermain dengan mainan yang modern seperti mobil remote control, permaianan game dan lain sebagainya. Di kabupaten Bone sekitar tahun 80-an masih didapati permainan  rakyat seperti Maccukke, Maggale, Massallo, Mappadanda, Marraga, Mabbenteng dan lainnya. Tetapi sekarang permainan rakyat yang melatih ketangkasan itu seakan hilang tanpa bekas.
Selain itu, jika kita mengunjungi wilayah pertanian di pedesaan, akan sangat jarang sekali kita melihat petani menggunakan kerbau untuk membajak sawahnya. Sawah akan didominasi oleh “Kerbau Jepang bermesin” alias traktor tangan yang menurut anggapan petani lebih praktis dan lebih cepat.
Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Kabupaten Bone akan tetapi terjadi di hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan yang mayoritas dihuni suku bugis yang mengandalkan kehidupannya pada bidang pertanian. Masuknya era mekanisme pertanian dalam kurun waktu yang tidak telalu lama telah mengubah prilaku petani dan secara signifikan menurunkan populasi sapi dan kerbau Indonesia sehingga harus impor dari negeri Kangguru.
Kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang kita jauh lebih unggul dan lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan teknologi modern. Kotoran sapi dan kerbau dapat sekaligus menjadi pupuk dan penggunaan sapi-kerbau jauh dari prilaku konsumtif. Jika petani memelihara kerbaunya dengan baik, kerbau akan dapat dikawinkan dan beranak, sedangkan penggunaan traktor jika sudah sampai akhir masa pakainya akan berubah benjadi onggokan besi tua, di samping itu penggunaan bahan bakar akan mencemari lingkungan. Mestinya ada upaya dari sekarang untuk mengembalikan kejayaan bercocok tanam yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Contoh-contoh di atas merupakan contoh kearifan lokal yang bertumbangan tergerus arus kemajuan jaman yang menghendaki serba cepat dan serba instan. Manusia modern seharusnya menyadari bahwa kearifan lokal itu bukanlah merupakan suatu yang ditemukan dan dikembangkan oleh para nenek moyang kita secara instan, melainkan dikembangkan dalam waktu yang cukup lama dan selaras dengan pelestarian lingkungan.
Budaya instan dan serba cepat ini telah pula meracuni generasi muda sejak mereka dalam buaian ibunya. Lihat saja berbagai merek susu formula, berbagai bentuk peralatan dan permainan yang menggiring anak anak kita hanya sebagai pengguna saja. Anak anak modern dengan girangnya bermain perang perangan dengan berbagai senjata mainan plastik, robot robot bermesin dengan bunyi dan kilatan lampu yang sangat menarik. Mereka sudah berubah menjadi generasi pengguna yang konsumtif.
Pernahkan kita berpikir dan membandingkan kehidupan kita semasa anak anak dengan anak anak kita saat ini. Ada sesuatu yang esensial yang hilang, yaitu daya kreasi mencipta dan sistem daur ulang. Dalam alam pikiran anak-anak kita tidak pernah terbesit bagaimana caranya membuat senapan dari pelepah pisang yang mengeluarkan bunyi bunyian, mereka tidak pernah berpikir bagaimana membuat mobil mobilan dari pelepah pisang, mereka tidak pernah berpikir bagaimana cara membuat pesawat dari ilalang atau membuat layang yang gesit di udara dan lain sebaginya.
Dunia Barat yang kita kagumi secara membabi buta sekarang mengalami siklus back to nature dengan lebih mempertimbangkan pelestarian lingkungan dan proses pendidikan alamiah seperti yang penah diajarkan oleh para leluhur kita. Sebaliknya kita sedang menuju kehidupan modern yang telah mulai ditinggalkan oleh dunia Barat. Sungguh suatu ironi jika dijaman yang serba instan ini kearifan lokal yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita ditiru oleh dunia Barat, sedangkan kita secara perlahan tapi pasti meninggalkan kearifan lokal ini yang merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Ciri khas orang bugis berprilaku sopan dan santun , memegang teguh norma, penuh senyum dan ramah sudah mulai luntur-luluh tergerus derasnya arus globalisasi yang miskin makna.
Jika kita menoleh kesejarah kaum imprealis selain menaklukkan dan menguasai sumber daya bumi dan air tanah  jajahannya juga berusaha menguasai aspek lain misalnya, norma-norma, sosial, ekonomi, dan budaya. Mereka melakukan segala cara  dengan tipu daya untuk menguasai segala lini kehidupan di tanah kolonialnya. Kaum imprealis (penjajah) biasanya melakukan berbagai pendekatan kepada pemimpin kelompok masyarakat dan menawarkan berbagai bentuk kerja sama yang awalnya saling menguntungkan. Bahkan  untuk menguasai  ia suka membangun daerah kolonialnya (jajahannya) untuk menarik simpati rakyat jajahannya. Akhirnya apa yang mereka lakukan itu hanya strategi belaka demi mencapai tujuan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Bone salah satu kerajaan besar yang pernah ada di Jazirah Selatan Sulawesi tak luput dari keadaan seperti di atas. Untuk menguasai Bone, kaum penjajah tidak serta merta menyerang kerajaan Bone tetapi mereka melakukan usaha pendekatan kepada raja. Padahal jika mau menggunakan kekuatan senjata tidak terlalu sulit meskipun memang mendapatkan perlawanan sengit dari laskar kerajaan Bone. Mengapa tentara Belanda tidak langsung menyerang Bone pada masa itu padahal memiliki kekuatan persenjataan yang kuat ?, ternyata Belanda punya niat lain yakni berusaha mempelajari norma-norma adat yang ada di kerajaan Bone. Mereka mempelajari bagaimana cara raja Bone dalam menerapkan kebijakan-kebijakan terhadap rakyat.
Misalnya dari sisi hukum bagaimana Pabbicara (penegak hukum) menjatuhkan sanksi terhadap bagi mereka yang bersalah secara adil dan bijaksana. Hal-hal demikian dicatat oleh Belanda kemudian dibawa ke negerinya untuk dipelajari. Tidak hanya di kerajaan Bone tetapi semua kerajaan nusantara yang dianggap memiliki norma, adat, dan budaya yang tinggi semua ditulisnya, maka tak heran, terminologi hukum Indonesia pada umumnya masih menggunakan bahasa Belanda. Hukum-hukum tersebut  kita gunakan sampai sekarang yang sesungguhnya sebagian besar berasal dari negeri kita sendiri. Masihkah kita mau mengucilkan budaya lsendiri ?
(Mursalim )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar