Situs cagar budaya sebagai sumber daya budaya sangat terbatas dan tidak dapat diperbaharui, karena terkait langsung dengan lingkungannya. Sehingga apabila tidak segera diambil langkah-langkah yang terpadu dan tepat untuk penyelamatannya, maka dalam waktu yang relatif singkat kita dapat kehilangan sosok warisan budaya bangsa.
Dalam konteks penyelamatan situs Gua Mampu di Kabupaten Bone ini di perhadapkan pada masalah adanya perbedaan kepentingan dalam penggunaan lahan di mana lokasi Goa Mampu di Desa Cabbeng Kecamatan Dua BoccoE Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Terjadi eksploitasi pada lantai situs untuk kepentingan pupuk guane oleh masyarakat setempat yang mengakibatkan kerusakan data arkeologis sebagai benda cagar budaya, yang pada akhirnya bermuara pada hilangnya satu sosok warisan budaya bangsa.
Berdasarkan laporan hasil pra survei dari Suaka PSP Sulselra (SUAKA PENINGGALAN SEJARAH DAN PURBAKALA SULAWESI SELATAN DAN TENGGARA) pada bulan Februari 1994, bahwa mereka menemukan beberapa data arkeologi berupa artefak dan acofak yang diasumsikan sebagai peninggalan budaya masa prasejarah. Mereka juga melaporkan adanya adanya kegiatan eksploitasi pada permukaan lantai Gua secara intensif, sehingga lantai gua mengalami tingkat kerusakan lebih parah.
Sebagai realisasi Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1992 tentang benda, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 10 tahun 1993 tentang pelaksanaan UU No. 5 tahun 1992 dan Pedoman Pengelolaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala tahun 1991, maka melalui surat Perintah Kepala Suaka PSP Sulselra bernomor :756/M.3/U/1994 dan nomor 757/M.3/U/1994 masing-masing bertanggal, 4 April 1994, Perihal Survei dan Ekskavasi Penyelamatan terhadap situs Gua Mampu mulai tanggal, 7 s.d. 19 April 1994.
Tujuan Survei dan ekskavasi penyelamatan terhadap situs Gua Mampu, dilakukan antara lain: Penyelamatan benda cagar budaya beserta situsnya sebagai warisan budaya nasional, Inventarisasi dan dokumentasi benda cagar budaya beserta situsnya, Pencatatan bentuk-bentuk data arkeologis, cara-cara hidup dan proses budaya, Menyusun rekontruksi kronologi, cara-cara hidup dan proses budaya yang pernah berlangsung pada lapisan-lapisan tertentu dari situs Gua Mampu Kabupaten Bone.
Situs Gua Mampu yang berada di kawasan bukit Mampu terdiri atas mulut gua, antara mulut gua satu dengan mulut gua yang lainnya di hubungkan dengan rongga, sehingga menggambarkan suatu terowongan yang saling berhubungan. Maka sepintas merupakan satu buah gua yang besar dan terbagi atas enam ceruk (ventilasi alam).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap keenam mulut ceruk tersebut, terdapat tiga buah mulut gua yang memungkinkan memperoleh data arkeologis yang selanjutnya dapat digunakan untuk menyusun rekonstruksi proses budaya yang pernah berlangsung pada situs ini.
Ciri-ciri ketiga mulut gua tersebut yaitu luas ruang di dalam mulut gua. Jumlah cahaya di dalam mulut gua yang menyinari ruang dan tingkat kelembaban yang cukup rendah, serta permukaan lantai gua yang cukup datar,didukung pula dengan temuan arkeologis berupa artefak dan acefak yang tersebar pada permukaan gua.
Penelitian gua-gua di sulawesi selatan dilakukan pertama kali oleh Fritz dan Paul pada tahun 1902 terhadap Gua-Gua Cakondo I & II, Ululeba, dan Balisao.Hasil temuan terdiri dari serpih bilah, lancipan bergerigi, dan tulang-tulang manusia. Mereka menjumpai suku Toala yang pada waktu itu masih tinggal di Gua-Gua dan hutan sekitarnya. Karena beranggapan bahwa suku Toala adalah pendukung langsung kehidupan di Gua-Gua. Kemudian mereka menggolongkan temuan-temuan dalam Gua-Gua sebagai “Kebudayaan Toala”
Penelitian berikut dilakukan oleh Van Stein Callensfels pada tahun 1933 untuk membuktikan kebenaran hasil penelitian Sarasin itu. Kemudian menyusul penelitian yang dilakukan oleh W.J.A Williams dan F.D Mc Carthy pada tahun 1937,untuk membuktikan persebaran kebudayaan Toala secara gegrafis.
Penelitian ini dilanjutkan oleh H.R Van Heekeren 1950 yang berhasil menemukan lukisan-lukisan pada dinding Gua, berupa cap tangan dan babi di Gua Leang-Leang Kabupaten Maros. Penelitian Gua di Kabupaten Maros ditingkatkan pada tahun 1969 melalui kerja sama dengan pihak Australia dari Departemen Of Prehistory, Australian NationalUniversity Camberra. Yang dipimpin oleh D.J. Mulvaney.
Penelitian ini juga bertujuan untuk menguji kembali hasil-hasil temuan yang pernah diperoleh Van Stein Callenfels sebelumnya. Dalam penelitian tersebut didapati sejumlah artefak berciri budaya Toala, disamping karawang polos dan berhias, lancipan bergerigi dari batu yang dianggap unsur termuda dari budaya Toala dijumpai pula disini. Oleh karena begitu banyaknya artefak jenis ini ditemukan , maka tim sepakat untuk menamakan tipe lancipan ini, yaitu “Lancipan Maros atau Maros Point”
Berita tentang Gua Mampu di Desa Cabbeng, Kecamatan Dua BoccoE, Kabupaten Bone sudah dipublikasikan sebelum 1940-an yang kemudian dikunjungi oleh James Brooke (kemudian menjadi raja di kerajaan Serawak) untuk membuktikan adanya laporan tentang patung-patung penganut kepercayaan animisme, yang dikultuskan sebagai kerabat kerajaan Mampu yang kena kutukan yang berubah menjadibatu.
Kemudian disusul penelitian berikutnya adanya gejala arkeologis di Gua Mampu, selanjutnya pada tahun 1994 adanya temuan arkeologis berupa artefak dan ecofak di Gua Mampu. Temuan-temuan permukaan tersebut berupa : alat kerang dan alat batu dan molusca serta tulang aves.
Dalam mempertahankan hidupnya seringkali manusia harus menerima kebijakan alam lingkungannya yang merupakan bentang ruang aktivitas hidupnya.Bentuk kebijakan itu ditandai dengan tersedianya berbagai berbagai kapasitas prasarana dan sarana yang dibutuhkan oleh manusia.
Selanjutnya bentuk toleransi yang diberikan manusia sebagai tanggapan terhadap kebijakan tersebut ditandai dengan mengadaptasikan dirinya. Oleh karena itu hubungan antara manusia dengan lingkungan merupakan suatu keterikatan yang sangat mendasar dan tak terpisahkan.
Dalam Tulisan ini diungkapkan bagaimana lingkungan alam mempengaruhi latar belakang sosial budaya manusia pendukung Gua Mampu, termasuk di dalamnya cerita rakyat tentang Gua Mampu itu sendiri yang berkembang kemudian.
Situs Gua Mampu terletak di gugusan bukit gamping Mampu yang memanjang dari arah timur ke barat pada gugusan ini terdapt ceruk. Situs ini berada pada 100 meter dari permukaan laut masuk wilayah administrasi dusun Aluppang, Desa Cabbeng Kecamatan Dua BoccoE Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan. Jarak tempuh sekitar 32 kilometer dari Watampone ibu kota Kabupaten Bone. Dan sekitar 4 kilometer arah selatan ibu kota Kecamatan Dua BoccoE, melalui jalan daerah yang sudah beraspal sekarang ini.
Situs Gua Mampu terbentuk dari satuan batuan gamping dibeberapa bagian permukaannya tertutupi oleh satuan alluvium, sedang pada bagian di dalam perut Gua Mampu terutama pada lantai Gua tertutupi oleh batuan lanau dan travertin (endapan sinter). Terbentuknya batuan ini memungkinkan beberapa tanaman yang dapat dikonsumsi oleh manusia maupun binatang.
Kemudian disekitar kawasan Gua mampu, oleh penduduk setempat dimamfaatkan lahan ini sebagai pemukiman dan tegalan yang ditanami kelapa, jambu mete,pisang,asam,kakao, mangga, kapuk, beringin,jati, pepaya, talas, ubu kayu, nangka,ketapang, jarak,lontar, rumput,hutan belukar,dan lain-lain.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa situs Gua Mampu terbentuk dari batuan gamping sehingga pada bagian perutnya terdapat pintu masuk. Berdasarkan hasil pengamatan terdapat enam ceruk yang dihubungkan dengan ceruk lainnya. Pada bagian dalam Gua Mampu terdapat travertin yang membentuk stalagmit, stalaktit sehingga membentuk pilar-pilar alam, Flowstone, rendom stone. Walaupun beberapa terowongan tertentu terdapat tempat-tempat yang cukup gelap, tetapi pada bagian-bagian mulut Gua terang karena jumlah sinar matahari yang masuk cukup banyak.
Suhu udara Gua Mampu terutama yang terdapat pada mulut Gua berkisar 26-29 derajat Celcius dengan kelembaban sekitar 80 %. Dengan keadaan ini manusia dapat hidup di dalamnya. Sedangkan pada bagian terowongan yang gelap pada langit-langit Gua ditempati kelelawar dan burung walet dalam jumlah yang sangat besar. Kemudian penduduk setempat kotoran kelelawar dan burung walaet diproduksi sebagai Guane.
Berdasarkan irisan yang ditemukan pada salah satu lantai Gua memberikan petunjuk, bahwa pemamfaatan langit-langit Gua Mampu oleh kelelawar sudah berlangsung cukup lama dalam kurung waktu yang panjang dengan adanya deposit tulang belulang setebal 7 cm yang berada 28 cm dari permukaan tanah.
Batuan pembentuk situs Gua Mampu adalah batuan gamping, tetapi pada beberapa bagian pada permukaan batuan ini sudah tertutupi oleh lapisan lanau dan endapan sinter (travertin). Bentangan alam yang merupakan sebuah bukit gamping yang memanjang dari arah timur ke barat meliputi batuan karst yang tersingkap di Sumpang Labbu.
Batuan ini juga tersingkap di kawasan karst Citta Kabupaten Soppeng yang membentuk Gua Codong. Kemudian di kawasan Barru batuan ini juga tersingkap di Daerah Bulu Dua, oleh karsnya singkapan gamping yang terdapat di perbukitan Gua Mampu termasuk di dalam formasi Taccipi. Sejarah geologi formasi Taccipi periode tersier pada kurun Miosen.
Keberadaan Gua Mampu di Dusun Aluppang Desa Cabbeng kecamatan Dua BoccoE kabupaten Bone merupakan sebuah monumen saksi kehadiran suatu kelompok komunitas dengan segala aktivitasnya sejak jaman dahulu kala di Mampu. Menurut sumber lisan yang berkembang secara turun temurun, bahwa setelah keturunan Dewata sudah tiada, keadaan dimana-mana menjadi kacau balau termasuk mampu. Waktu itu Mampu terbagi dua, yaitu daerah Malaturu dan daerah Limpo Majang. Kedua daerah tersebut dipisahkan oleh sungai.
Setelah kekacauan dan ketidakstabilan masyarakat berlangsung sekian lama di Mampu (disimbolkan Sianrebale), maka suatu hari setelah didahului oleh peristiwa alam yang menakutkan dan menimbulkan kekacauan selama tujuh hari tujuh malam, tiba-tiba muncul dua orang bersaudara di ujung sebelah barat gunung yang tidak diketahui asal-usulnya. Kedua orang ini bernama Guttu Tallemma, dan yang wanita bernama WeSinra Langi.
Tidak lama setelah kehadiran kedua orang ini, di sebelah timur muncul lagi dua orang bersaudara seorang pria dan seorang wanita. Kehadiran keempat orang tersebut yang dikultuskan (disimbolkan Tomanurung), ternyata menarik simpati masyarakat Mampu dan bermaksud menjadikannya pemimpin. Kemudian keempat To-Manurung ini terjadi kawin mawin.
Setelah perkawinan, maka kedua pasang To-Manurung hidup makmur dan damai. Selanjutnya pasangan pertama, yaitu Guttu Tallemma dengan We Sengeng Telaga, melahirkan seorang anaklaki-laki bernama “Laoddang Patara” sedangkan pasangan yang lain, yaitu Lapaturungi dengan We Sinra Langi.
Setelah kedua putra putri To-Manurung tersebut mencapai usia dewasa La Oddang Patara dengan We Lale Uleng sekaligus mengangkat menjadi raja pertama di Mampu. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, masyarakat Mampu mengadakan musyawarah untuk menetapkan siapa-siapa yang akan menghadap To-Manurung. Setelah tiba waktu yang ditetapkan, maka berangkatlah utusan tersebut menghadap To-Manurung untuk menyampaikan hasrat rakyat Mampu.
Dan sesudah terjadi percakapan antara To-Manurung dengan utusan masyarakat Mampu tercapailah kata sepakat La Oddang Patara Sebagai Raja Mampu. Keberadaan Raja Mampu ini menjadikan Kampung Mampu menjadi kawasan yang disegani karena kemakmuran dan kesejahteraannya. Hal ini karena La Oddang Patara dalam menjankan roda pemerintahannya adil dan bijaksana serta sangat merakyat. Akibatnya rakyat yang merasa terangkat atas kehadirannya dan sebagai ungkapan bakti dan rasa terima kasih mendirikan sebuah istana di bagian utara Gunung Mampu.
Namun beberapa waktu kemudian kedua pasang To-Manurung tersebut menghilang (Mallajangngi). Kejadian ini tidak menyurutkan semangat Raja Mampu La Oddang Patara dalam memajukan kerajaan dan meningkatkan penghasilan rakyatnya. Hal ini dimungkinkan karena Raja Mampu I adalah seorang ahli di bidang pertanian.
Setelah empat puluh tahun bertakhta La Oddang Patara yang tumbuh gagah perkasa dan rupawan, keadaan tersebut menarik minat ketiga putra-putri raja, yaitu La Urerru’, LaturungpangE, We Lette Papi untuk turun menuai padi.
Ketika ketiga putra putri raja berada di sawah, maka raja Mampu beserta isterinya dan putri bungsunya yang bernama We Apung Mangenre’ serta sebagian besar harta bendanya menjadi batu karena kutukan Dewata yang lazim disebut “Malebboe Ri Mampu”. Inilah awal cerita kemudian oleh sebagian masyarakat percaya, bahwa Raja Mampu beserta keluarganya yang dikutuk oleh dewata sehingga menjadi batu ialah Gua Mampu di Desa Cabbeng.
Terdapat pula cerita rakyat, bahwa di kerajaan Mampu dahulu kala ada sepasang pengantin baru yang belum saling mengenal. Pengantin baru perempuan memiliki kelebihan pandai menenun kain (Mattennung). Pada suatu ketika salah satu alat tenunnya (anak caropong) jatuh di bawah rumahnya. Maka dengan demikian pengantin baru perempuan tersebut harus melewati tangga untuk turun mengambil anak caropongnya yang ada di bawah rumah.
Akan tetapi mereka malu untuk turun ke tanah karena ada suaminya(pengantin baru laki-laki) duduk di tangga, maklumlah keduanya belum saling mengenal (belum sikacuang). Sehingga mereka mengurungkan niatnya untuk turun ke tanah. Setelah itu mereka kembali ke dalam rumah. Pada saat itu pula ada seekor anjing (asu) lewat di bawah rumah. Dan selanjutnya mereka meminta tolong kepada anjing tersebut agar bisa diambilkan alat tenunnya yang jatuh di bawah rumah. Lalu mengatakan ” Asu ! Alangekka ana’ Caropokku’ (ambilkan anak ceropongku), dan sampai ketiga kalinya berkata seperti itu, anjing langsung menggigit anak caropong tersebut, dan seketika itu anjing dan seluruh isi kerajaan Mampu termasuk Raja Mampu sendiri berubah menjadi batu (Malebbo) dikutuk oleh Dewatae.
Selain itu, Goa mampu yang sarat legenda ini merupakan salah satu objek wisata alam yang terluas di Provinsi Sulawesi Selatan, gua Mampu menyimpan sejuta kisah yang dipercaya oleh sebagian besar masyarakat dengan sebutan “Alebborengnge ri Mampu” (malapetaka di Mampu).
Di dalam gua yang memiliki luas sekitar 2000 meter persegi itu, para pengunjung disuguhi pemandangan stalagtit dan stalagmit yang sangat rapi, beberapa bongkahan batu yang berbentuk manusia, perahu, hewan, tumpukan padi, persawahan. Ya, memang mirip sebuah perkampungan.
Selait itu, di dalam gua tersebut terdapat kuburan kuno yang menambah kesan mistis, satu kuburan terletak tak jauh dari mulut gua dan yang satunya lagi berada di puncak gunung Mampu (kuburan Pattanrewara)
Legenda tentang gua mampu, juga tercatat dalam buku Lontara Bugis. Yang menceritakan mengenai kisah sebuah perkampungan yang mendapat kutukan dan seluruhnya telah berubah menjadi batu.
Namun meski demikian, hingga kini belum ada pelurusan sejarah tentang legenda gua mampu ini, sehingga menimbulkan banyak versi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu versi menyebutkan, jika pada zaman dahulu tempat tersebut merupakan daerah “kerajaan Mampu”. Kutukan berawal ketika putri raja sedang menenun seorang diri di teras rumah panggungnya. Namun, karena rasa ngantuk, alat tenun atau yang disebut “ana’ walida” milik sang putri terjatuh ke tanah.
Tak jauh dari tempat tersebut, ada seekor anjing. Putri raja langsung meminta tolong kepada anjing tersebut untuk mengambilkan walidanya. Tiba-tiba anjing itu berbicara layaknya seorang manusia. Sang putri langsung kaget dan seketika itu tubuhnya berubah menjadi batu dari kepala hingga ujung kakinya.
Setelah para dayang serta masyarakat melihat kejadian yang menimpa sang putri, mereka langsung kaget dan menunjuk seraya bertanya apa yang sedang terjadi. Namun yang lebih naasnya lagi, setiap orang yang bertanya, dirinya pun berubah menjadi bongkahan batu. Dan kini peristiwa tersebut, dikenal oleh masyarakat dengan istilah Sijello’ to Mampu (saling menunjuk).
Legenda ini telah menyebar dan berkembang kemasyarakat luas. Dari legenda tersebut, menjadikan goa ini banyak dikunjungi para wisatawan. Baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.
Sebelum masuk ke dalam gua ini, para pengunjung harus mempersiapkan alat penerangan, atau jika tidak, di tempat tersebut ada obor yang disewakan khusus untuk pengunjung. Di dalam gua yang terdiri atas tujuh tingkat ini kondisinya sangat gelap, terkecuali tempat-tempat tertentu yang mendapat pancaran sinar matahari dari langit-langit gua yang berlubang. Selain itu, untuk menyusuri gua itu, Anda dapat menggunakan pemandu lokal yang selalu siap sedia agar Anda tidak tersesat di dalam.
Untuk mengunjungi tempat wisata yang berjarak sekitar 32 kilometer dari pusat kota kabupaten ini, pengunjung membutuhkan waktu sekitar 45 menit kota watampone
Dari berbagai pengamatan dan penelitian, Gua Mampu keadaan tanahnya terutama pada bagian topsoil sedikit gembur berwarna coklat kehitaman, bercampur dengan kulit kerang air payau dan sedikit potongan arang, gigi taring, dan cakar kelelawar. Sedang temuan lainnya adalah tembikar kasar polos dari pecahan bagaian badan.
Keadaan tanahnya sedikit gembur berwarna coklat dari endapan lanau. Tanah ini bercampur dengan travertin yang menyebar di dalam beberapa kotak dan beberapa kulit kerang air tawar serta kulit kerang laut.
Ditemukan pula lapisan konsentrasi arang dan abu sisa hasil pembakaran, ditemukan tulang taring dan cakar kelelawar, temuan lainnya adalah tembikar kasar polos dari bagian bentuk badan.
Dibagian lain tekstur tanahnya halus berasal dari endapan lanau sehingga tampak gembur berwarna coklat kekuningan tetapi di bawah konsentrasi arang dan abu tersingkap pada split sebelumnya ditemukan lapisan tanah berwarna merah yang mungkin terjadi akibat oksidasi panas yang terjadi di atasnya dalam waktu relatif lama.
Lapisan tanah padas plit ini bercampur dengan kulit kerang air tawar dan laut jenis gastrapodae polipodai. Dari lapisan ini juga ditemukan beberapa tulang gigi dan cakar kelelawar. Sedang temuan lainnya beberapa tembikar polos bagian tepian dan badan serta sebuah pragmen tembikar halus bagian badan yang mempunyai hiasan gores melingkar.
Penggalian diantara kedalaman 36 cm sampai dengan 45 cm, tanahnya tanahnya merupakan tanah endapan Lanau dengan tekstur gembur berwarna coklat kekuningan bercampur dengan pecahan kulit kerang air tawar dan laut yang tersebar di lapisan tanah spit ini. Di dalam lapisan tanah ini juga ditemukan potong arang serta konsentrasi temuan tulang, gigi taring dan cakar burung kelelawar yang berassosiasi dengan pecahan- pecahan kulit kerang laut dan air tawar jenis gastrapodae dan pelicypodae. Temuan lainnya berupa fragmen tembikar kasar dan halus bagian tepian dan badan yang polos.
Penggalian dilaksanakan diantara kedalaman 46 cm sampai dengan 55 cm. Keadaan tanahnya gembur berwarna coklat bercampur dengan pecahan kulit kerang laut dan payau dari jenis gastrapodae dan pelicypodae. Pada bagian lapisan ini juga ditemukan tulang, gigi taring, dan cakar burung kelelawar dalam jumlah yang cukup besar. Selain itu juga ditemukan beberapa tembikar kasar bagian badan. Temuan ini yang menarik beberapa keping batu lime atone yang mempunyai kekerasan tinggi yang diduga sebagai alat.
Demikian juga temuan sepotong tulang yang telah mengalami proses waktu, juga kulit kerang jenis gastrapodae dan pelicypodae. Kulit kerang-kerangan ini (dalam bahasa bugis dinamai cuco-cuco) pertanda kebiasaan raja Mampu masa lalu suka mengomsumsi kerang-kerangan dari laut serta siput sawah (bojo galung) yang terkenal sampai saat ini.
Gua Mampu ini berada pada kaki gunung Mampu dengan ketinggian 250 meter. Di bagian puncak gunung Mampu terdapat patok batu buatan Belanda dengan tulisan “250 meter”. Di sekitar patok tersebut terdapat kuburan raja Mampu yang dinamai kuburan “Pattanrewara” yang sering dikunjungi masyarakat sekitar maupun masyarakat dari luar yang memiliki hubungan keturunan.
(Mursalim)
Sumber : www.telukbone.com
Sumber : www.telukbone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar