Kebanyakan orang mengetahui harakiri sebagai “cara” bunuh diri ala Jepang saja. Namun di balik pengertian umum tersebut, sebenarnya Harakiri mempunyai sejarah panjang dan makna yang dalam. Secara harfiah harakiri berasal dari dua suku kata, yakni hara dan kiri. Kata hara berarti peru t dan kiri berarti potong. Harakiri disebut juga dengan seppuku. Harakiri merupakan bagian dari bushido, yaitu kode etik seorang samurai (prajurit) yang digunakan ketika kalah berperang, untuk menghindari jatuh ke tangan musuh, dan menghindari rasa malu karena kalah, serta sebagai wujud kesetiaan kepada daimsyo. Daimsyo ini merupakan sebutan tuan tanah di Jepang.
Tidak diketahui secara pasti kapan dan siapa yang melakukan Harakiri untuk pertamakalinya. Namun ada suatu kisah yang cukup menarik untuk diangkat dalam sejarah perjalanan harakiri di Jepang. Ini adalah kisah seorang samurai, Saigo Takamori, yang hidup pada zaman edo akhir mendekati era Meiji (1827-1877). Saigo Takamori adalah pemimpin pemberontakan terhadap pemerintahan. Dalam perperangan yang dikenal dengan pemberontakan setsuma, Saigo yang kalah dalam pergolakan akhirnya menghabisi hidupnya dengan cara harakiri. Metode harakiri umumnya dilakukan oleh seorang samurai dengan menancapkan pedang pada perut yang sudah diikatkan seutas kain, lalu pedang ditarik dari kiri ke kanan, seperti gerakan merobek.
Pada era modern “kebiasaan” harakiri masih dilakukan oleh sebagian orang di Jepang. Contohnya saja peristiwa yang terjadi di Tokyo pada 25 November 1970 . Pada hari itu seorang pengarang ternama bernama Yukio Mishima melakukan harakiri disebuah markas militer di Tokyo . Penulis novel Kinkakuji itu melakukan harakiri dibantu oleh beberapa anak buahnya. Mishima bersama sejumlah anak buahnya yang terlatih secara militer, hari itu menyerbu markas militer. Dia kemudian berpidato diketinggian, mengenai Jepang yang kehilangan keagungan klasik. Lalu di hadapan perwira tinggi yang ia sandera di markas tersebut, Mishima melakukan harakiri. Tak lama berselang, seorang pengikutnya yang setia, memenggal leher Mishima, sampai putus setelah empat kali pancung.
Kebudayaan disuatu daerah memang memiliki karakteristik masing-masing. Kebudayaan adalah proses dari cipta, karya, dan karsa manusia, untuk itulah kebudayaan bisa dikatakan sebagai cerminan dari karakter, sifat dan perilaku manusia-manusia yang mendiami suatu tempat. Kebudayaan disuatu daerah akan berbeda dengan daerah lainnya, bahkan disuatu Negara akan berbeda dengan Negara lainnya. Bahkan kebudayaan bisa dijadikan pisau bedah dalam menganalisis dan menentukan mental dan prilaku manusia dalam satu wilayah.
Kebudayaan sebagai sebuah proses cipta, karya dan karsa yang mencerminkan karakter manusia bisa dipandang dari dua sisi yang berlainan, yaitu kebudayaan bisa menghasilkan watak buruk dan watak baik. Kebudayaan bisa menjawab faktor-faktor manusia dalam suatu wilayah, apakah pekerja keras, malas, arogan, pemarah, bertanggung jawab, lepas tanggung jawab dan lain sebagainya.
Jepang adalah sebuah Negara kaya kebudayaan, tetapi Jepang yang lepas landas dari zaman kegelapan, zaman Edo (1603-1867) sejak masa Tokugawa Ieayasu dan Jaman Samurai menuju ke zaman industri dan teknologi yang dibuka dengan sebuah restorasi, restorasi Meiji, tidak begitu saja melepaskan karakter manusia-manusianya yang menjunjung tinggi kebudayaan-kebudayaan hasil cipta, karya dan karsa nenek moyangnya. Budaya malu adalah budaya khas jiwa-jiwa Samurai. budaya ini masih dipertahankan bangsa Jepang, walaupun Jepang sudah jauh lepas landas dari masa Samurai.
Pada masa Samurai, ketika seseorang menyesali sebuah perbuatan atau meratapi ketidak-mampuannya dalam mengurus setiap persoalan, maka orang ini akan duduk tertunduk dan menghunuskan samurai kecil menusuk perutnya. Inilah budaya harakiri (bunuh diri) sebagai simbol rasa malu, simbol tanggung jawab atas ketidak-mampuan seseorang dan penyesalan. Praktek ini memang sekarang ditinggalkan oleh orang Jepang, tapi secara esensi dan subtansi bangsa Jepang ternyata tidak melupakan budaya ini. Ketika seorang Pejabat merasa dirinya tidak mampu, korupsi atau melakukan perbuatan yang dinilai bertentangan dengan norma-norma, maka dengan lantang pejabat itu akan maju dan berteriak “saya bertanggung jawab dan saya akan mengundurkan diri”. Inilah budaya malu yang dipertahankan oleh bangsa Jepang. Ini wajib ditiru, ditengah krisis rasa malu dan krisis tanggung jawab yang sedang menjangkiti orang-orang penting bangsa ini.
Pengertian HARAKIRI harus kita reduksi, karena Harakiri (bunuh diri) bukanlah praktik beradab bagi masyarakat kita, apalagi kalau kita benturkan dengan norma agama. Tetapi makna Harakiri harus kita beri pengertian sebagai budaya yang menjunjung rasa malu, SIRI NAPESSE’, rasa bertanggung jawab dan rasa penyesalan, serta harga diri dipertaruhkan.
Ketika seorang pejabat gagal dalam mengemban tugas dan amanahnya, maka budaya Harakiri akan membuat pejabat itu tampil ke depan dan lantang berbicara, “saya salah, saya tidak mampu, saya malu, maafkan saya dan saya akan mengundurkan diri”. Jika tidak mundur bisa berakibat fatal eksistensi harga diri saya “. NASABA CICENG MUATU TABBE SIRIE DENIGAGA ANGKE’TA MONRO RI LINOE. AKKATENNING MARE’I RIYASENGNGE SIRI NAREKKO MAELOKI TUWO SALEWANGENG (Tuah Bugis)
Sumber :www.telukbone.or.id
Sumber :www.telukbone.or.id
Tidak ada komentar: