Konflik Bone Melawan Belanda

Jika mengupas perjalanan politik kerajaan Bone sejak perjuangan Arung Palakka memang amat menegangkan. Hubungan Bone dengan Belanda banyak diwarnai ketidakharmonisan pada masa raja-raja selanjutnya. Mereka memandang perjanjian Bongaya sudah tidak layak diperpanjang. Bahkan Belanda berkali-kali mengirim ekspedisi militernya demi memperbarui perjanjian tersebut.
Perang di Eropa membawa fitrah tersendiri di Nusantara. Jepang masuk memaksa dengan segala cara untuk menanamkan budayanya bagi orang-orang pribumi. Di sisi lain, tekanan-tekanan sosial amat dirasakan orang pribumi. ketertiban dan keamanan hilang, ekonomi hancur berantakan, kelaparan merajai situasi. Situasi seperti ini berlanjut hingga pergolakan menuju Indonesia merdeka.
Belanda tidak puas dan ingin bercokol kembali dan menduduki Benteng Rotterdam di Makassar yang kemudian melakukan ekspedisi brutal ke pedalaman Sulawesi Selatan. Mereka berintrik dengan menawarkan kesepakatan-kesepakatan menarik bagi raja-raja di Sulawesi Selatan termasuk Bone. Namun, tak seorangpun pribumi yang mendukung mereka.
Kebangkitan pergerakan nasionalis tak mampu mereka tumbangkan, meskipun terjadi pertumbahan darah yang dilakukan Westerling yang menjadi momok paling spektakuler di masa itu. Panji-panji Nasional Indonesia terus berkibar meskipun ribuan jiwa melayang sebagai tumbal perjuangan.
Gejolak muncul lagi lantaran perasaan tidak fair oleh golongan 45 yang tidak sepaham aksi Soekarno menandatangani perjanjian KMB (konferensi meja bundar). Indonesia nyaris pecah lantaran dibentuk menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat). Akibatnya, lagi-lagi bumi Celebes ikut bergejolak, walaupun kemudian gejolak itu perlahan mereda dan memasuki memasuki era perdamaian.
Bagaimana hubungan Bone dengan Belanda setelah Arung Palakka? Setelah perang melawan Gowa, terjadi perpecahan antar kerajaan di Sulawesi Selatan. Kini yang menjadi pemain tunggal adalah Bone sejak kehancuran Gowa, bahkan istana kerajaan Bone juga berdiri di Bontoala.
Hubungan antara Arung Palakka dan Speelman memang kelihatannya mesra, namun setelah Speelman meninggal karena malaria, maka hubungan Arung Palakka dengan Gubernur Jenderal Belanda di Batavia dipenuhi ketegangan yang diakhiri dengan tabuhan genderang perang. Itulah tabiat Arung Palakka, kalau sudah menyangkut harga diri dan bangsanya mereka akan menggigit tanpa ampun dan kenal siapapun dia. Perang antara Bone dengan Belanda tak terhindarkan, kedua belah pihak saling mengalahkan.
Belanda mengirim ekspedisi ke Bone tahun 1824 dan 1825 dengan misi memperbarui perjanjian Bongaya. Alhasil, melalui peperangan yang amat hebat, perjanjian Bongaya berhasil diperbarui pada tahun 1838. Tetapi tahun-tahun berikutnya kembali terjadi ketegangan di Makassar.
Hubungan dagang Singapura dengan Makassar mulai berkembang namun menimbulkan kondisi yang tidak nyaman bagi warga pribumi. Rakyat Bone mulai membangkan terhadap rezim kompeni Belanda di Rotterdam. Sehingga memaksa Jacob Rochussen selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1845-1851 di Batavia, mengunjungi kerajaan Bone dengan maksud meredakan ketegangan, namun tidak berhasil.
Tidak berhasil membujuk orang Bone, maka Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu membuat laporan ke Amsterdam Belanda yang isinya menyatakan, bahwa perang melawan Bone harus segera dilancarkan, karena mereka tidak mau lagi tunduk pada pemerintahan, orang-orang Bone membuat laut tidak aman, mereka mengganggu perdagangan laut Belanda. Orang Bone harus dihadapi seperti melawan Arung Palakka.
Tetapi permohonan Jacob Rochussen selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda tidak mendapat restu parlemen Belanda di Amsterdam. Mereka khwatir kalau kembali menyerang Bone akan mengalami kerugian besar bagi pihak Belanda seperti pada waktu perang melawan Arung Palakka.
Sayang, pernyataan perang dari Amsterdam Belanda yang ditunggu-tunggu tak kunjung dikumandangkan. Bahkan, tahun-tahun kemudian Gubernur Jenderal Belanda selanjutnya Charles Ferdinand Pahud de Mortanges (1856-1861), pada tahun 1857 juga membuat laporan untuk mendapatkan persetujuan perang melawan Bone, namun juga tidak digubris dengan alasan yang sama.
Disaat yang sama, Bone terjadi pergantian takhta karena La Parenrengi Arung Ugi Wafat kemudian digantikan oleh We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara (Raja Bone Ke-28). Tahun 1857, Besse Kajuara memerintahkan kepada seluruh pedagang pribumi mengibarkan bendera Belanda dalam keadaan terbalik di kapal-kapal mereka. Kemudian Besse Kajuara memerintahkan kepada seluruh serdadu-serdadu pribumi dan negeri bawahannya untuk membangkan terhadap pemerintah Belanda.
Akibatnya, kesabaran Amsterdam habis, dengan berat hati harus rela mengeluarkan biaya perang, harta, dan nyawa. Pada tanggal 13 November 1858 Gubernur Jenderal Belanda di Batavia melimpahkan wewenang kepada Mayor Jenderal Steinmetz untuk melancarkan ekspedisi resmi pada tanggal 12 Januari 1859. Aksi ekspedisi pertama ini untuk mengirim ultimatum kepada Besse Kajuara agar mau berunding dengan Belanda.
Mayor Jenderal Steinmetz mengirim dokumen kepada Besse kajuara agar segera disetujui dengan batas waktu 3×24 jam. Namun sia-sia karena Besse Kajuara memilih harga diri dan martabat bangsanya dengan jalan perang. Menolak mentah-mentah bujukan Belanda dengan memilih perang.
Akibat penolakan itu, maka pada tanggal 12 Feberuari 1859, pasukan Belanda melakukan pengintaian selama beberapa hari diperairan Teluk Bone. Pada tanggal 18 Feberuari 1859 mereka mendarat dan menghabisi kampung-kampung pesisir Bajoe yang sudah ditinggal penghuninya. Namun, tentara Belanda gagal memasuki Watampone karena mendapat perlawanan sengit dari laskar kerajaan Bone. Bahkan Mayor Jenderal Steinmetz yang memimpin langsung serangan tangannya tertembak sehingga komando diserahkan kepad bawahannya Jacobus Anthony Waleson.
Usaha Belanda untuk menduduki Watampone selalu tertunda oleh cuaca buruk, serta hutan trofis, dan ketika mereka berhasil menduduki Watampone pada tanggal 28 Feberuari 1859 Watampone sudah kosong, akhirnya pasukan Belanda kembali ke Bajoe dan membuat pangkalan militer.
Di sana pasukan Belanda merancang taktik bagaiamana bisa menguasai Bone keseluruhan. Namun, pasukan Belanda mulai ciut dan lelah bahkan harus berjuang dan berperang dengan takdir. Jumlah Mereka semakin berkurang selain diculik oleh pasukan Bone tetapi juga diserang oleh penyakit.
Pada Tanggal 6 Maret 1859 sebanyak 161 prajurit Belanda terserang penyakit demam dan tujuh hari kemudian bertambah menjadi 210 prajurit. Akhirnya, terpaksa mereka pergi dan mengosongkan pangkalan militernya di Bajoe dan kembali ke Batavia. Ekspedisi mereka gagal total dan membawa kepedihan bagi Belanda.
Akibat kekalahan tersebut, Gubernur Jenderal Belanda harus berpikir keras menghadapi kenyataan pahit ini. Posisi para petinggi Belanda di Makassar menjadi terancam. Namun, berbagai intrik yang dimiliki Belanda memjadi salah satu penyelamat baginya. Belanda berusaha mendekati Singkeru’ Rukka dan membantu untuk menjadi raja di Bone pada tahun 1860.
Mulai disaat itulah Belanda kembali bersahabat dengan orang Bone, mereka menjalin hubungan baik dengan calon-calon raja Bone berikutnya. Mereka memberikan bantuan jika terjadi perselisihan perebutan takhta. Yang penting bagi mereka persahabatan bisa berjalan mulus.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Lapawawoi Karaeng Sigeri raja Bone ke-31 (1895-1905) hubungan Bone dengan Belanda kembali memanas seperti yang terjadi semasa Speelman dengan Arung Palakka. Lapawawoi Karaeng Sigeri sebelum menduduki takhta kerajaan Bone adalah seorang pendekar yang serupa Arung Palakka.
Lapawawoi Karaeng Sigeri pernah membantu kompeni Belanda menghancurkan Turatea. Sepulang dari perang itu, Lapawawoi Karaeng Sigeri diangkat menjadi penasihat kerajaan Bone. Kemudian pada tahun 1868 terjadi pemberontakan di Gowa dan Karaeng Sigeri berhasil meredamnya pada tahun 1877. Kompeni Belanda banyak berhutang budi kepada Karaeng Sigeri, sehingga ia mendapat kalung penghargaan.
Pada tahun 1895 kompeni Belanda mendudukkannya sebagai raja Bone ke-31, sekaligus meminta pembaruan kontrak perjanjian Bongaya. Karaeng Sigeri pada masa itu seolah sependapat dengan pikiran Belanda. Tapi sayangnya, hubungan keduanya tidak berjalan mulus.
Setahun kemudian, Karaeng Sigeri sudah merasa perlu melanggar perjanjian Bongaya. Pembesar kompeni Belanda di Makassar berkali-kali menegur Karaeng Sigeri namun tidak pernah digubris.
Pada tahun 1904 Belanda menerapkan cukai di Pelabuhan Dagang Makassar, hal ini membuat muak orang Bugis yang ternyata wajib membayar cukai. Sementara pada saat itu pangkalan militer milik Belanda di Bajoe sidah berubah menjadi pelabuhan dagang kecil milik kerajaan Bone dan mulai ramai karena banyak pedagang dari Cina. Pelabuhan Bajoe pada saat itu menjadi pangkalan kopra sebelum dibawa ke Makassar dan diambil oleh pedagang besar dari Cina. (Pelabuhan Bajoe awalnya merupakan bekas pangkalan militer Belanda yang dibangun oleh Mayor Jenderal Steinmetz tanggal 12 Feberuari 1859).
Melihat perkembangan pelabuhan Bajoe menjadi ramai, Bukan Belanda kalau tidak ikut ambil bagian. Disatu sisi mereka yang merintis pelabuhan di Bajoe, maka kantor dagang Belanda semestinya harus juga berdiri di situ. Untuk menghargai persahabatan Belanda membuat proposal kepada Lapawawoi karaeng Sigeri. Inti proposal itu adalah ” Belanda bersedia mengeluarkan uang  berapapun permintaan Karaeng Sigeri untuk mendirikan Lodji (kantor dagang) di Pelabuhan Bajoe”. Namun proposal cantik penuh bunga-bunga tersebut ditolak mentah-mentah oleh Karaeng Sigeri.
Awal tahun 1905 di bawah arahan Kolonel van Loenen Skuadron armada pasukan Belanda menduduki pelabuhan Bajoe. Mereka membuat onar di pelabuhan Bajoe. Mereka mengusir semua pedagang dan aktivitas jual beli. Kemudian pelabuhan Bajoe kembali seperti semula dijadikan sebagai pangkalan militer.
Watampone diserbu dan diduduki, Lapawawoi Karaeng Sigeri mundur ke daerah Palakka pasukan Belanda mengejarnya. kemudian Karaeng Sigeri mundur lagi ke Pasempe. keadaan genting seperti itu berjalan terus hingga sampai akhir November 1905. Di mana kedua belah pihak saling menyerang habis-habisan. Belanda menang setelah melewati ribuan mayat-mayat laskar kerajaan Bone  yang bergelimpangan.
Kabar kemenangan Belanda itu sampai ke Batavia, maka Belanda mulai merombak total sistem pemerintahan di kerajaan Bone, karena kalau tidak, maka kondisi akan terulang seperti semula. Maka pada tanggal 2 Desember 1905 Tellumpoccoe yang terdiri dari Bone,Wajo,dan Soppeng yang dinilai sangat menjengkelkan Belanda dibubarkan.
Setelah Tellumpoccoe dibubarkan kemudian disatukan dan diganti dengan nama ” Afdeling Bone” dengan pusat pemerintahan di Pompanua (ibukota kecamatan Ajangale sekarang) yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen.
Selanjutnya Apdeling Bone dibagi menjadi lima bagian yang disebut Onder Afdeling yang dikepalai oleh Tuan Petoro. Kemudian setiap Petoro dibagi lagi menjadi Petoro Besar selaku Asisten Residen, Petoro Menengah selaku Kontroler/Pengawas, dan Petoro Kecil yang menjadi bawahan Petoro Menengah. Ketiga tingkatan kekuasaan itu masing-masing dijabat oleh Belanda. Sedangkan posisi dibawahnya barulah diisi oleh orang pribumi, itupun melalui seleksi yang sangat ketat.
Adapun kelima bagian Afdeling Bone, antara lain :
1. Onder Afdeling Bone Utara, dengan ibukota Pompanua
2. Onder Afdeling Bone Tengah, dengan ibukota Watampone
3. Onder Afdeling Bone Selatan, dengan ibukota Mare
4. Onder Afdeling Wajo, dengan ibukota Sengkang
5. Onder Afdeling Soppeng, dengan ibukota Watangsoppeng.

Simpul pemerintahan dijalankan oleh Belanda, namun dengan alasan praktis setiap kerajaan tetap berjalan sesuai adatnya masing-masing akan tetapi tidak mempunyai persenjataan perang. Bahkan senapan-senapan buatan Inggris yang banyak ditemui ditiga kerajaan semua disita oleh Belanda.
Kerajaan Bone dijalankan oleh Ade’ Pitu (Adat Tujuh) karena Karaeng Sigeri yang melawan Belanda diasingkan di Bandung. Di Kerajaan Wajo dijalankan oleh Arung Matowa Wajo karena masih mau bersahabat dengan petinggi Belanda, begitupula kerajaan Soppeng yang bernaung di bawah Afdeling Bone.
Diawal pemerintahan, Belanda menuntut cukai kepada warga sebanyak 3 ringgit perkepala sebagai pengganti biaya perang. Kemudian dipenghujung 1910 pembangunan ketiga kerajaan dilakukan termasuk infrastruktur jalan. Namun pembangunan jalanan itu harus dibayar mahal oleh warga dengan kerja paksa (rodi). Laki-laki yang berusia di bawah 60 tahun diwajibkan bekerja, bagi yang tidak mau harus membayar sebesar 3 ringgit.
Pada saat itu warga dari ketiga kerajaan sangat mendukung program pembangunan yang dijalankan Belanda meskipun tak sedikit nyawa melayang. Setelah pembangunan jalan yang menghubungkan antara Onder Afdeling Bone Utara menuju Onder Afdelin Bone Tengah selesai dibangun (Jalan wajo sekarang ini), barulah pusat pemerintahan dipindahkan ke Watampone.
Kabar meninggalnya Karaeng Sigeri pada 11 November 1911 di Batavia sampai kepada Asisten Resident Afdeling Bone dan langsung menyampaikan kepada Ade’ Pitu (Adat Tujuh). Pada saat itu Ade’ Pitu bingung menentukan siapa raja selanjutnya yang bisa menggantikan Karaeng Sigeri. Sementara itu Belanda tidak terlalu memperhatikan tentang siapa raja selanjutnya, mereka hanya mengurusi soal pembangunan infrastruktur di Kerajaan Bone.
Pada hari Kamis, 12 April 1931 Ade’ Pitu berhasil mengukuhkan La Mappanyukki sebagai Raja Bone ke 32, ia menggantikan Karaeng Sigeri. Proses pemilihan dan pengukuhan memakan waktu yang cukup lama, itupun setelah mendapat restu dari Belanda.
Pada saat pengukuhan La Mappanyukki sebagai raja Bone ke-32 dihadiri oleh Andries Cornelies Dirk de Graeff seorang pembesar Belanda dari Batavia. Proses pengukuhan dilakukan dengan secara sakral. Dengan demikian kerajaan Bone kembali memiliki pemimpin meskipun terkesan dipaksakan oleh Belanda.
La Mappanyukki seorang yang saleh, beliau tak tanggung-tanggung meminta bantuan semen untuk mendidirikan Masjid Watampone tahun 1941 (Masjid Raya Watampone Sekarang, Jalan Masjid Watampone). Dengan kerendahan hati, Asistent Resident Bone pada saat itu memberikan bantuan. Mereka berpikir, bahwa lebih baik ia yang memberikan bantuan ketimbang Belanda yang memberikan. Karena kalau Belanda yang memberikan bantuan otomatis mengirim misionarisnya ke Bone yang hanya akan memperkeruh suasana.
Hegemoni kekuasaan memang tak pernah abadi, ada pergantian antar waktu, ada secara periodik, seperti halnya yang dialami pemerintahan Belanda. Pada akhir tahun 1941 terjadi ketegangan antara otoritas Belanda di Batavia dengan tentara Jepang. Akhirnya pada tanggal 4 Februari 1942 Jepang dan Belanda bertempur di Selat Makassar, Belanda kalah.
Perang itu berujung pada jatuhnya Makassar ke tangan Jepang pada tanggal 10 Februari 1942. Sejak itu, tentara Jepang mulai melakukan ekspansi ke seluruh negeri jajahan Belanda di Sulawesi Selatan termasuk sasaran utamanya adalah Bone. (Nantikan Kisah Selanjutnya dengan topik yang berbeda)
(Mursalim)


Sumber : www.telukbone.coi.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar