Tradisi Mappacci pada Pernikahan Adat Bugis Bone

  1. Upacara adat Mappacci dilaksanakan pada acara Tudang Mpenni, menjelang pelaksanaan akad nikah / Ijab Kabul esok harinya. Di Makassar disebut Amata Korontigi (Akkorontigi) di Bulukukma / Sinjai disebut Mappanreade.
  2. Upacara mappacci adalah salah satu upacara adat bugis, yang dalam pelaksanaannya menggunakan / memakai daun pacar (dau pacci).
  3. Pacci adalah salah satu jenis tumbuhan yang dalam bahasa Indonesia disebut tumbuhan pacar dan dalam bahasa latin disebut Lawsania Alba. Daun pacci yang ditumbuk halus / dilumatkan sampai halus disebut pacci dikaitkan dengan kata “PACCING” dalam bahasa bugis disebut suci / bersih.
  4. Dengan demikian pelaksanaan upacara mappacci mengandung makna / symbol akan kebersihan atau kesucian.
  5. Sebagaimana yang tertera dalam ungkapan bahasa bugis yang mengatakan Mappacci iyyanaritu : gauk ripakkeonroi nallari adek, Mancaji gauk mabbiasa, tampuk sennu-sennuang ri niak akkatta madeceng mamuarei naletei pammase Dewata.
Yang sangat diharapkan :
  • Utamanya kesucian hati Calon Mempelai menghadapi hari esok, memasuki bahtera rumah tangga, melepas masa gadisnya dan masa remajanya (masa lajangnya).
  • Pacci, apabila ditempelkan pada kuku, maka akan member warna merah pada kuku dan sangat sukar / sulit menghilangkannya. Pewarnaan kuku menjadi merah dan sukar dihilangkan ini ditarik seatu perlambang dan harapan, semoga pernikahan nanti akan berlangsung dengan langgeng, menyatu antara keduanya, kekal bahagia seumur-umurnya, laksana merah ronanya serta lengketnya warna merah “Pacci” tadi.
  • Malam mappacci ini merupakan acara hidmat, penuh doa dan restu dari para hadirin, handai tolan, keluarga dan para sesepuh atau sinisepuh. Semoga doa restu para hadirin dapat mengukur kebahagiaan kedua pasang suami istri kelak  dalam membinah rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahma. Yaitu rumah tangga yang bahagia, penuh rasa cinta dan kasih saying, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Baetti Jannati” yang artinya “Rumahku adalah Surgaku”.
  • Untuk melaksanakan “Mappacci” akan melibatkan pasangan sesepuh sebanyak 9 (Sembilan) pasang. Dalam bahasa Bugis disebut “Duakkesera” maksudnya Sembilan orang dari keluarga Ayah, sudah termasuk ayah sendiri, dan Sembilan dari keluarga ibu termasuk ibu sendiri. Adapun yang lainnya, tidak termasuk dalam “Duakkasera”. Kesembilan pasang dari Pinisepuh, diharapkan dapat menitiskan atau mewariskan suri tauladan dan nasib baiknya kepada calon mempelai. Selain “Daukkasera” biasa juga sebanyak “Duappitu”. Maksudnya tujuh dari ayah dan tujuh dari ibu
MAKNA, SIMBOLIS TAFAUL ATAU SENNU-SENNUANG YANG TERKANDUNG DALAM PERLENGKAPAN ATAU PERANGKAT YANG ADA :


1.    Bantal (Angkangulung)

  • Bantal terbuat dari kapas dan kapuk, suatu perlambang “kemakmuran” dalam bahasa bugis disebut “Asalewangeng”.
  • Bantal sebagai pengalas kepala, dimana kepala adalah bagian paling mulia bagi manusia. Dengan demikian bantal melambangkan kehormatan, kemuliaan atau martabat. Dalam bahasa bugis disebut “Alebbireng”. Dengan demikian diharapkan calon mempelai senantiasa menjaga harkat dan martabatnya dan saling hormat menghormati. Dalam bahasa bugis “Nalitutui alebbirenna nennia maccai mappakaraja/ mappakkalebbi
2.    Sarung 7 lembar (Lipa’ pitullampa)
  • Sarung sebagai penutup tubuh. Tentunya kita akan merasa malu apabila tubuh kita tidak tertutup / telanjang. Dalam bahasa bugis disebut “Mabbelang / mallosu-losu”. Dengan demikian diartikan sebagai harga diri (merasa malu). Dalam bahasa bugis disebut “Masiri / malongko” sehingga diharapkan agar calon mempelai senantiasa menjaga harga dirinya. Dalam bahasa bugis “Sini nalitutuwi sirina”.
  • Membuat sarung (mattennung) memerlukan keterampilan, ketelatenan, dan ketekunan, untuk mendapatkan hasil tenunan yang rapi dan halus. Konon, bila seorang pria akan mencari / memilih calon istri, takperlu melihat sang gadis tersebut, tapi cukup melihat hasil tenunannya, rapi/ halus tidaknya tenunan tersebut, cukup menentukan jatuhnya pilihan.
  • Sedang sebanyak 7 lembar tersebut, dalam bahasa bugis kata tujuh erat kaitannya dengan kata patuju / tujui yang artinya benar, berguna, atau manfaat. Sehingga diharapkan agar calon mempelai senantiasa berbuat, melakukan atau mengerjakan sesuatu yang benar, berguna atau bermanfaat. Selalu benar, sini-tujui. Adapun bilangan 7, yang dalam bahasa bugis dikatakan “Pitu”, bermakna akan jumlah atau banyaknya hari yang ada. Dimana tanggung jawab dan kewajiban timbale balik antara suami dan istri harus dipenuhi setiap harinya.
3.    Pucuk daun pisang (colli’ daung utti)
Kita mengetahui, bahwa daun pisang yang tua, belum kering, sudah muncul pula daun mudanya untuk meneruskan kehidupannya dalam bahasa bugis disebut “Maccoli-maddaung”. Melambangkan kehidupan sambung menyambung (berkesinambungan). Artinya jangan berhenti berupaya, berusaha keras demi mendapatkan hasil yang diharapkan. Sebagaimana kehidupan pisang, nanti berhenti berpucuk setelah sudah berubah. Dalam falsafah bugis, mengatakan “Resopa natemmangingngi”. Malomo nalompengi, Pammase Dewata.
4.    Daun Nangka (Daun Panasa)
  • Kata “Panasa” mirip dengan kata “Menasa” yang berarti “Cita-cita lhur” pelambang doa dan harapan mulia. Dalam bahasa Bugis disebut “Mammenasa ri Decengnge’ artinya senantiasa bercita-cita akan kebaijan atau kebajikan.
  • Sedang “Bunganya Nangka” disebut ‘Lempu” dikaitakan dengan kata “Lempuu”(dalam bahasa Bugis)  yang artinya kejujuran dan dipercaya. Sebagaimana salah satu ungkapan atau syair Bugis, yakni : DUAMI RIALA SAPPO, UNGANNA PANASAE, BELO KANUKUE artinya hanya ada dua yang menjadi perisai hidup dalam kehidupan dunia yang fana ini, yaitu UNGANNA PANASAE (Lempu) yakni kejujuran,dan  BELO KANUAKUE (Paccing) yang artinya kebersihan atau kesucian. Dengan demikian diharapkan kiranya calon mempelai memiliki kejujuran dan kebersihan atau kesucian.. Apabila Sarung tujuh lembar, maka daun Nangka sebanya Sembilan lembar. Adapun arti sembilan lembar yaitu semangat hidup atau kemenangan. Dalam bahasa Bugis disebut TEPUI, PENNOI ATAU MAGGENDINGNGI. Dalam arti kata rejekinya melimpah ruah atau TASSERA-SERAI DALLE’ HALLALA’NA
5.    JAGUNG MELATI/BERAS MELATI/BERTI (WNNO ATAU BENNO)
Yaitu jagung / beras yang digoreng/disangrai hingga mekar berkembang dengan baik. Dalam bahasa Bugis disebut PENNO RIALE artinya mekar dengan sendirinya. Sehingga diharapkan agar calon mempelai dapat mandiri dalam membina rumah tangga.
6.    LILIN / (TAIBANI/PATTI)
Taibani atau Patti berasal dari lebah yang dijadikan lilin sebagi suluh atau pelita yang dapat menerangi kegelapan yang berarti panutan atau teladan. Sehingga diharapkan calon mempelai dapat menjadi penerang, penuntun, suriteladan dalam kehidupan bermasyarakat. LEBAH yaitu senantiasa hidup rukun, tenteram, damai, rajin dan tidak saling mengganggu satu sama lain. Selain daripada itu lebah menghasilkan suatu obat yang sangat berguna bagi manusia yaitu “Madu” dalam bahasa Bugis disebut “CANI’ yang dikaitkan dengan kata ‘Cenning” yang artinya manis. Sehingga diharapkan agar calon mempelai senantiasa memiliki hati yang manis, sifat,prilaku dan tutur kata yang manis untuk menjalin kebersamaan dan keharmonisan.
7.TEMPAT PACCI / Wadah yang terbuat dari Logam (CAPPARU’ BEKKENG)
Antara CAPPARU’ dan PACCI melambangkan dua insane yang menyatu dalam suatu ikatan atau jalinan yang kukuh. Semoga pasangan suami isteri tetap menyatu, bersama mereguk nikmatnya cinta dan kasih saying yang sudah dijalin oleh dua rumpun keluarga.
PENUTUP
Hadirin yang kami Hormati
Demikian sekelumit makna, symbol, tafaul atau sennu-sennuang yang terkandung dalam Upacara Adat Mappacci. Semoga doa restu para hadirin dapat mengantar pasangan suami isteri dalam kehidupan yang bahagia, sejahtera, aman dan damai dalam keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.

Akhirnya : COKKONG MUA MENASAE, NAKKELO DEWATA SEUWWAE NAIYYA MADDUPA.. Artinya berpucuk jua, harapan, kehendak Tuhan jualah yang berlaku maka itulah yang menjadi kenyataan. Cukup sekian mohon maaf atas segala kekurangan dan terima kasih atas perhatiannya.
Sumber : Andi Najamuddin Petta Ile

Tidak ada komentar:

Posting Komentar