Guru dan UU Perlindungan Anak
Posted by Andi Ewha
Guru dan UU Perlindungan Anak
Ada yang menarik sekaligus terkadang membuat miris di dunia pendidikan, yakni ketegangan antara peserta didik-beserta orang tuanya- dengan guru sebagai pendidik. Sebuah relasi yang justru seharusnya menjadi harmoni dalam sebuah proses mendidik dan membangun generasi, tidak jarang berakhir “konflik”. Belakangan ini, Tercatat peningkatan pelaporan guru oleh peserta didik dengan delik tindakan kekerasan. Apalagi setelah undang-undang perlindungan anak nomor 23 tahun 2002 di sahkan. Maka kasus demi kasus kekerasan terhadap anak didik mencuat, bahkan tak jarang guru sebagai pendidik harus di ciduk oleh penegak hukum. Hal ini menjadikan persoalan tersendiri bagi guru. Ada kecemasan, dan terkadang ada perasaan tidak “fokus” terutama ketika harus menerapkan aturan sekolah dan penegakan disiplin.
DILEMA
Dalam Undang – undang no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, dijelaskan tentang kedudukan, tugas dan hak guru. Pasal 1 misalkan mendefinisikan guru sebagai pendidik professional dengan tugas utama mendidik,mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Konsekuensi lanjut dari tugas pokok ini menempatkan guru pada posisi yang sangat vital bagi perbaikan generasi. Guru dipahami bukan sekadar pengajar yang bertugas mencerdaskan siswa secara kognitif saja, tetapi jauh dari itu melekat padanya fungsi mendidik dan mengarahkan. Ketika segala instrumen yang dijalankan guru berjalan sesuai perencanaan maka tidak akan menemui kendala berarti. Tingkat keberhasilan berikutnya tinggal terkait dengan kompetensi guru. Baik itu pedagogik,sosial,pribadi maupun kompetensi profesionlalisme seorang guru. Peserta didik yang mudah di arahakan, mendengar nasehat, akan menjadikan proses pendidikan di sekolah berjalan dengan tertib.
Guru dengan segenap kemampuan yang di miliki tinggal tampil sebagai motivator, fasilitator dan inspirator bagi generasi bangsa yang sementara membina diri dengan menjadi peserta didik.Namun, masalah itu datang ketika skenario pendidikan dan pembelajaran tidak dapat berjalan sempurna oleh karena ketidak patuhan sebagian peserta didik. Guru lantas harus menemukan cara mengatasi hal tersebut. Berbagai metode penanganan bisa ditempuh dari yang persuasif sampai penegakan disiplin. Sebab, jika tidak ditangani atau dibiarkan begitu saja bukan hanya akan mengganggu pribadi siswa yang “bermasalah” tapi dapat menggangu proses secara keseluruhan.Menghadapi hal semacam ini, akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kematangan seorang guru. Karena terkadang menguras energi dan emosi.
Penanganan secara persuasif menjadi utama, namun terkadang hasilnya kurang maksimal. Maka pilihan terakhir adalah penegakan aturan dan disiplin. Pemberian sanksi dan hukuman terkadang tak terelakkan. Baik itu dengan suara yang “keras”, hukuman sesuai aturan sekolah atau sampai pada sentuhan “fisik” untuk mengarahkan siswa — yang sekarang menjadi tabu dan banyak digugat. Secara historis sesungguhnya, hukuman fisik di dunia pendidikan telah berlangsung lama. Dulu sebagian besar generasi bangsa ini dididik dengan paradigma ini. Guru masa lalu mendidik dengan “didampingi” oleh alat hukuman fisik di tangan. Tetapi dengan sebuah niat dan tujuan yang baik. Jauh dari kesengajaan untuk tindak kekerasan apalagi penganiayaan. Yang tentu paradigma itu tidak serta merta hilang dan boleh jadi masih melekat pada sebagian guru.
Dilema itu datang ketika guru menegakkan aturan dan disiplin, persoalan tersebut di era demokrasi dan keterbukaan sekarang dianggap melanggar hukum dan dapat dilaporkan kepenegak hukum. Maka guru yang seharusmya fokus pada fungsi pendidikan dan pengajaran harus terkuras energi hanya untuk berurusan dengan penegak hukum.Kasus terakhir misalkan yang terjadi di Luwu Utara, seorang siswa melaporkan oknum guru SMP yang di delik melakukan tindakan kekerasan pada saat pembelajaran sedang berlangsung, sehingga harus diperikasa oleh kepolisian. Sebuah bukti realitas ketegangan relasi antara guru – siswa, sekaligus sebuah dilema pendidikan. Yang tentunya secara bersama semua masyarakat pendidikan, harus berupaya solusi terbaik bagi masalah tersebut untuk tidak menjadi preseden buruk dunia pendidikan, sekaligus mencari jalan keluar penanganan di masa depan.
STANDAR PENYELESAIAN
Merubah paradigma dan instropeksi masing-masing pihak menjadi wajib dalam menyelesaikan ketegangan ini. Bagaimanapun Undang-undang perlindungan anak no 23 tahun 2002 telah menjamin hak-hak anak termasuk ancaman bagi siapa saja yang melakukan tindak kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap anak. Namun, proses pendidikan di sekolah tidak boleh terganggu atau sedikitpun tidak boleh mengurangi porsi fungsi pendidikannya. hal ini bisa tercapai jika setiap pemangku dan subjek pendidikan duduk secara bersama. Baik pihak pemerintah (daerah) sebagai penyelenggara pendidikan, pihak guru, orang tua, masyarakat pendidikan dan penegak hukum. Untuk membangun kesepahaman , Termasuk menentukan standar penanganan kasus kekerasan terhadap peserta didik.Secara defenitif , harus berbeda antara melakukan kekerasan dengan melalukukan pembinaan. Termasuk menegakkan aturan sekolah dan penegakan disiplin yang penting diterapkan di dunia sekolah. Sebab jika tidak dibedakan dan terjadi penyamarataan maka akan mengancam situasi dalam sekolah. Guru menjadi “cemas” dan tak maksimal menjalankan tugasnya karena dihantui oleh rasa takut salah dan terjerumus pada kategori kekerasan terhadap anak.
Oleh karena itu standar penanganan menjadi penting dan, Apakah setiap laporan anak atau orang tua peserta didik ke penegak hukum harus segera di proses pidana ?. Saya kira tidak . Ada tahapan proses yang bisa disepakti secara bersama mulai dari penyelesaian secara persuasif antara keduabelah pihak, penyelesaian pada tingkat pimpinan di sekolah dan /.atau keterlibatan dewan kehormatan guru untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran kode etik guru atau tidak.
Keterlibatan penegak hukum adalah jalan terakhir jika semua instrumen tersebut diatas tidak mampu menyelesaikan persoalan. Dengan standar penanganan demikian maka perhatian setiap komponen terutama guru bisa kembali fokus pada fungsinya yang menjadi ujung tombak untuk membina, mendidik dan mencerdaskan generasi bangsa ini. Sebab jika setiap laporan siswa maupun orang tua tentang kekerasan terhadap anak di pidanakan maka boleh jadi kedepan setiap persolan yang terjadi di dalam lingkungan sekolah akan berakhir dan bermuara pada penegak hukum, karena keraguan dan kecemasan guru untuk menangani.
Sebuah langkah mundur dan ancaman terhadap kualitas pendidikan.
Wallahu alam bissawab
Tidak ada komentar: