Budaya Mendidik Orang Bugis

          


Budaya mendidikan bugis. Mungkin pembahasan ini masih kurang bersahabat dengan telinga pembaca. Dalam makalah ini penulis menjelaskan tentang bagaimana masyarakat bugis punya bibit unggul dalam setiap aspek keturunannya. Budaya bugis senantiasa memberikan buah hasil penanaman khas dan karakter aslinya kepada para keturunan-keturunannya. Dewasa ini dengan perkembangan zaman, IPTEK dan keadaan lingkungan serta perubahan kondisi alam mengakibatkan bergesernya pula nilai-nilai yang selama ini masih dipegang teguh oleh masyarakat pada umumnya. Anak-anak sekarang ini mengalami kemunduran dalam pemahaman moril,karakter dan tingkah laku serta daya kreatifitas karena pengaruh zaman tadi. Dahulu bagaimana anak-anak dengan keterbatasannya dan hanya memanfaatkan lingkungannya dapat dengan suka cita bermain, dan hal ini membuat daya kreatifitas anak semakin bertambah juga dengan sendiri.

     Apabila kita memberikan perbandingan dengan yang sekarang bahwa anak-anak dengan tekhnologi yang semakin tingginya dan anak yang hanya mengandalkan jiwa komsumtifnya maka dengan hal tersebut jiwa kreatifitas anak akan berkurang. Mereka akan sangat tergantung dengan hal-hal yang sudah ada, mobil-mobilan remote control, playstation dll. Dengan seperti ini maka struktur pemikiran anak tadi akan mengalami krisis kreatifitas dan krisis karakter , karena budaya instan tadi. Di samping itu juga, dewasa ini saya sebagai penulis melihat disekeliling saya dan berdasar pada pengalaman saya tentang mendidik anak sekarang dan menmbandingkan dengan yang dahulu dari hasil tingkah laku dan morilnya.  Memang saya dapat mengatakan bahwa sangat berbeda. Krisis-krisis seperti dijelaskan diatas sangat jelas terlihat. 

      A.    Karakter Keluarga Bugis
       Suku Bugis yang terletak umumnya di daerah Sulawesi dan terkhusus di daerah Sulawesi selatan, memiliki keberagamana budaya dan pemaknaannya. Bugis yang dikenal dengan tata krama dan norma-norma yang menjadi ciri dan khas masyarakat atau populasinya. Dan juga bugis yang dikenal dengan etos dan karakter yang kuat serta bugis yang populasinya berada dimana-mana. Secara garis besar masyarakat bugis yang masih sangat kental dengan kebudayaan khasnya dan masih berpegang teguh dan menjalankan setiap tradisi-tradisinya.

      Masyarakat bugis yang dikenal dengan gelar-gelar kebangsawananya masih sangat mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan. Sistem kekerabatannya juga sangat baik dan dijaga sampai sekarang ini, walaupun zaman sudah secanggih ini pemaknaan mengenai rasa penghormatan kepada orang yang berstrata lebih diatas masih terjaga. Inilah yang menyebabkan mengapa tradisi dalam nilai-nilai bugis itu masih ada.

           Suku Bugis terikat pada satu sistem budaya yang disebut panngaderreng, yang menjadi acuan bagi individu dalam kehidupan sosialnya, mulai dari kehidupan keluarga sampai pada kehidupan yang lebih luas sebagai kelompok etnik (Melalatoa, 1995). Inti dari sistem budaya ini adalah apa yang disebut siri’ dan pessé. Adanya budaya pada suku Bugis yang mengikat kuat setiap anggotanya, membuat penelitian ini penting dilakukan. Hal ini dikarenakan, sistem budaya tersebut dapat berpengaruh pada kekuatan karakter yang berhubungan dengan kebahagiaan yang mereka rasakan. 

          Karakter keluarga bugis menjurus ke arah bagaimana setiap keluarga menginginkan adanya pola penjagaan terhadap nilai dan nama baik keluarga, karakter keluarga bugis yang sangat memperhatikan unsur-unsur estetika dalam artian nilai keindahan dalam prospek kekerabatan dan tingkah laku bukan hanya dengan keluarga sendiri akan tetapi dengan seluruhaspek lingkungan pergaulan dan keseharian. Dalam hal ini bagaimana pembeda atau apabila dikaji mendalam bagaimana karakteristik keluarga bugis dibandingkan dengan yang lain, bisa dikatakan keluarga bugis mempunyai banyak aturan yang nilai ke sakralannya sangat tinggi, sehingga dalam bertindak dan bertingkah laku seakan berhati-hati atau penuh dengan ikatan yang membuatnya sangat berhati-hati.
      
      B.     Budaya Otoriter dalam Penanaman etos kedisiplinan anak.
      Karakter keluarga bugis menurut kebanyakan orang itu bersifat otoriter, namun ke otoriteran dari karakter bugis itu sendiri bukan otoriter menurut pemaknaan aslinya, akan tetapi kedisiplinan dan ketaatan untuk tidak melakukan hal yang tidak biasanya atau diluar unsur kebiasaan dan tidak melakukan hal-hal yang melanggar norma dan asas-asas beretika yang berlandaskan dari kebiasaan suku bugis tersebut atau biasanya disebut dengan pamali, Begitupun dengan gaya mendidik anaknya. Keotoriteran masyarakat bugis ini juga dalam pemaknaan seperti diatas, kedisiplinan yang ketat mengajarkan anak untuk menjadi orang-orang yang nantinya bisa cepat mandiri atau dapat mengatur hidupnya sendiri, kedisiplinan juga menjadikan bekal moril kepada anak agar dapat lebih bertanggung jawab dan berfikir positif dalam kesehariannya. Bekal-bekal lain yang tersirat dalam etos kedisiplinan dalam gaya mendidik masyarakat bugis adalah budaya siri atau bagaimana menjaga nama baik keluarga. Dalam hal ini nilai-nilai yang dapat dihasilkan adalah bagaimana pola pemikiran anak dan proses orangtua memberikan pengertian kepada anak membuat anak lebih bertanggung jawab atas etika dan penanaman karakter yang lebih matang, biasanya dengan begini pola kestruktural pemikiran anak akan lebih baik, bagaimana bisa lebih paham dengan kepekaan sosial dan juga anak akan mendapatkan kesadaran diri yang tinggi. Masih banyak dari kepola mendidik ini seperti etika dalam makan yang mana mengutamakan kebersamaan agar nilai-nilai kebersamaan itu semakin erat. Nilai senang,susah di rasakan bersama-sama dan masih banyak aspek-aspek lainnya.

          Lain lagi dalam pola religius. Masyarakat bugis sangat memperhatikan masalah ini dalam batasannya ajaran islam. Bagaimana masyarakat bugis cenderung taat atau patuh dalam pelaksanaan ajaran agama ini. Hal ini jelas terlihat bagaimana banyak dari acara-acara yang dilaksanakan oleh masyarakat bugis yang memiliki nilai religius dalam landasannya seperti,maccera’ (akikah), panre temme’ (tamat al qur’an) tama bola’       ( masuk rumah baru ) ini merupakan bukti dasar bagaimana masyarakat bugis sangat mengilhami ajaran-ajaran islam itu sendiri. Biasanya dalam masyarakat bugis yang telah mempunyai anak, mereka kebanyakan telah menanamkan pada anak apabila dia telah bersekolah maka dia juga harus dapat mengaji atau mulai mempelajari dasar dalam agamanya. Dan dengan di dukung oleh kebudayaan bugis yang masih mengedepankan ke estetikaan nilai-nilai terdahulu seperti maka perkembangan keagamaan ini terdapat semacam umpan balik yang sangat menguntungkan keduanya. Bagaimana anak mulai mempelajari dan didukung oleh budaya, dan budaya yang tetap terpelihara dengan semakin banyaknya masyarakat yang tetap stay dan menjalankannya. Abayak contoh spesifik tentang pembuktian hal ini. Seperti pada umumnya isra’ miraj, maulid nabi, sampai pada peringatan bulan suci ramadhan yang di tunggu-tunggu oleh anak-anak untuk berperan aktif dalam kegiatan islamic di masjid-masjid, mengaji dan ceramah contohnya yang membuat edukasi lain dan pola mendidik lain dalam upaya membuat anak dapat berkembang dengan kemauannya sendiri.

         Gaya mendidik masyarakat bugis tidaklah sekeras dari apa yang difikirkan akan tetapi, penanaman pemahaman dan relasi dengan budaya dan tradisi masyarakat lampau atau sebelumnya membuat ikatan pola mendidik anak tetap terjaga walau dewasa ini sudah sedikit berkurang akan tetapi akan tetap ada dan stay karakter-karakter itu dengan semakin transparannya hasil buah gaya mendidik seperti ini.
  
      C.    Pengaruh Budaya Mitos/pamali dalam mendidik dan keseharian masyarakat bugis.
          Ekspresi budaya "pamali/ pemmali" sebagai salah satu sikap tutur budaya Bugis-Makassar, merupakan ungkapan yang bersifat spontan, sebagai bentuk pelarangan dengan penekanan pada kejiwaan , untuk tidak melanggar yang di pemalikan (diappemmaliang). Pemmali terkait erat dengan pappaseng , oleh pengguna bahasa / penutur, setinggi apapun pappaseng sebab merupakan nasehat hidup atau pelajaran hikmah yanglahir dari penjelajahan hidup yang disampaikan lewat karya sastra , dan merupakan salah satu nilai ekspresi budaya suku Bugis-Makassar.  tetapi pemmali, juga sebagai sebuah pesan, memberi efek yang berbeda dengan volume pelarangan yang sangat menekan, sebab diikuti dengan sanksi (meskipun bentuknya terkadang gaib) sebagai contoh, kami paparkan seperti dibawah ini: "Pemmali pura manre nappa matinro, menre I' salompongnge". "pemmali mangngesso ase riwettu makkumpe' na ellungnge" "pemmali tawwe matinro moppang, magatti I' diwelai indo' "Enre manekko ana-ana, nasaba Mangngaribini, enrara I' setangnge" "Tempeddingi tewwe tudang riolona tange e', monroko lolo bangko" Pada masyarakat lampau sifat pemmali ini secara umum teraplikasi dengan baik sebab menjadi timbangan yang istimewa dalam mempengaruhi emosional lawan bicara (reseptor /audens) sehingga menjadi kemestian untuk tidak melakukan yang bersifat larangan(harus diindakan) meski dengan tidak rela terpaksa mengikuti.

            Suku Bugis terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adat yang keramat dan sakral, yang disebut panngaderreng (atau panngadakkang dalam bahasa Makassar). Sistem budaya ini menjadi acuan bagi orang Bugis dalam kehidupan sosialnya, mulai dari kehidupan keluarga sampai pada kehidupan yang lebih luas sebagai kelompok etnik (Melalatoa, 1995). Sebagai suatu sistem, panngaderreng mempunyai beberapa unsur, yaitu (1) ade’, (2) bicara, (3)rappang, (4) Wari’, dan (5) Sara’ (Melalatoa, 1995; Matullada dalam Koentjaraningrat, 1997).

          Unsur ade’ berisi norma-norma dalam sistem kekerabatan dan norma dalam sistem pemerintahan negeri, baik yang di dalam maupun yang berhubungan dengan negeri luar. Bicara adalah norma-norma yang terkait dengan peradilan, yang kurang lebih sama dengan hukum acara. Rappang merupakan analogi, kias, perumpamaan atau ungkapan adat. Wari’adalah klasifikasi benda, peristiwa, dan aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat menurut kategori-katergorinya. Sedangkan Sara’ adalah pranata-paranata dan kaidahnya yang berasal dari Islam. Hukum Islam atau syari’ah diintegrasikan ke dalam panngaderreng dan menjadisara’ sebagai suatu unsur pokok dari panngaderreng dan kemudian menjiwai keseluruhanpanngaderreng.  

       Yang menjadi inti dari sistem budaya ini adalah apa yang disebut siri’. Konsep siri’mengintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari panngaderreng. Basjah (dalam Koentjaraningrat, 1997) memberi tiga pengertian terhadap kosep siri’ yaitu, malu, daya pendorong untuk membinasakan siapa saja yang telah menyinggung rasa kehormatan seseorang, atau daya pendorong untuk bekerja atau berusaha sebanyak mungkin. Said (dalam Koentjaraningrat, 1997) mengungkapkan bahwa siri’ adalah perasaan malu yang memberi kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat, terutama dalam soal-soal hubungan perkawinan. Sedangkan menurut Melalatoa (1995) kata siri’ secara harafiah berarti “malu” atau “kehormatan”.

            Siri’ merupakan sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial. Siri’ dapat menjadi motif penggerak kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis. Menurut masyarakat Bugis, siri’ seharusnya—dan biasanya, memang—seiring sejalan dengan pesséPessé, atau lengkapnya pessé babua, berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap tetangga, kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial (Pelras, 2006). Hal ini melambangkan solidaritas, tak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau menderita sakit keras. Pesséberhubungan erat dengan identitas dan merupakan pengikat antar anggota kelompok sosial atau etnis. Pessé mendasari rasa memiliki identitas ‘ke-Bugis-an’ para orang Bugis yang merantau. Kedua konsep ini—siri’ dan pessé—dapat digunakan sebagai kunci utama untuk memahami berbagai aspek perilaku sosial orang Bugis, khususnya dua perilaku yang tampak saling berlawanan, yaitu persaingan dan kesetiakawanan.

       Mitos dalam pembahasan diatas dikenal sebagai pamali dalam bahasa bugis memang sedikit banyak memberikan pedoman dan landasan dalam bertindak dan bertingkah laku bagi keluarga dan khususnya dalam mendidik pada masyarakat bugis. Dengan nilai seperti itu keteraturan dia keterikatan tentang norma-norma yang baik semakin tumbuh pada diri anak dan masyarakat pada umumnya. Bisa dikatakan mau tidak mau mitos mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat bugis. Dalam segala aspek pamali selalu ada. Dalam segala tindakan pamali selalu mengikat ini adalah dasar dan merupakan bukti bagaimana benar-benar menyeluruh pamali ini. Apalagi seperti yang kita tahu bahwa pamali ini pada dasarnya diwarisi turun temurun dari masyarakat terdahulu. 

     Ada banyak bentuk-bentuk pamali yang sadar tidar sadar menancapkan pesan dan menjadi karakter bagi yang melakukan dan berada pada cangkupannya seperti contoh kecil:

     Kalimat deklaratif dari Pappaseng/Pappasang ini dengan kosa kata de e narapi nawa-nawa adalah sinyalemen untuk mendeskripsikan reso (semangat tinggi), berfungsi sebagai alat pendidikan bagi generasi muda manusia Bugis. yang terjemahannya : berangan-anganlah hingga tak terjangkau angan-angan. (disampaikanolehpanrita/agamawan).

      Menurut Abdul Kadir Parewe : “ Para pi’ nawa-nama adalah sebuah keinginan dari penutur agar masyarakat senantiasa menggunakan tenaga pikiran dalam menciptakan atau menemukan hal-hal baru (inovasi), atau sebagai manusia perlu memelihara pikiran-pikiran yang kita inginkan, memperjelas apa yang kita inginkan di dalam benak, dari situ kita mulai membangun salah satu hukum terbesar di Semesta, dan itulah hukum tarik-menarik. Anda tidak hanya menjadi apa yang paling Anda pikirkan, tetapi Anda juga meraih apa yang paling Anda pikirkan demi kemaslahatan orang banyak. Tendensi dalam pappseng ini sebagai bentuk pelahiran tokoh (to macca), pada generasi berikutnya. Keinginan pada kelahiran tokoh ini adalah simpul kuat yang terkait dengan salah satu butir dalam pangngadakkang yaitu rapang (suri teladan).”

    Dan juga "pamali/ pemmali", "Pemmali pilai bolae narekko de'pa napura bissai penne angnganrengnge" (dilarang meninggalkan rumah (untuk perjalanan jauh) sebelum piring yang digunakan untuk makan, dicuci terlebih dahulu). kata "bissai penne", dalam ungkapan pemmali ini apakah hanya berarti "cuci piring" , sebab dalam sinyalemen pengunaan kata bissai penne ini dapat juga berarti memperlakukan wanita/istri dengan merawatnya, setelah berhubungan badan, menuju sikap verbal pada penggalian nilai-nilai budaya tutur, untuk sebuah kearifan lokal.

     Seperti contoh diatas bagaimana kepercayaan seperti itulah yang mengambil peran aktif dalam pembentukan apa yang dinamakan kebiasaan yang menyebabkan lahirnya perilaku yang akhirnya kembali menjadi kebiasaan.

  Sumber : http://antropologimakassar.blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar