Jejak Kota Tua Bone

Posted by Andi Ewha

Sekitar abad 10 Masehi Bone hanya sebuah wilayah kecil di tepi Teluk Bone. Awalnya hanya seluas 4 km persegi Letak sedikit lebih tinggi dibanding daerah sekitar sehingga disebut Tanete. Namun  Bone purba berada dalam  wilayah kerajaan Wewangriu Zaman Lagaligo.
Bone adalah nama bugis kuno yang berarti Pasir. Karena tanahnya berpasir warna kekuning-kuningan. Sehingga Bone dahulu disebut Tanah yang berpasir. Sebutan itu berakhir pada zaman Belanda  tahun 1940-an.
KOTA KAWERANG
Ketika kerajaan Bone berdiri pada tahun 1330 M. Ada 7 wanua  bergabung manjadi persekutuan yaitu :
1.Wanua Ponceng,
2. Wanua Taneteriattang,
3. Wanua Tanete Riawang,
4. Wanua Ta,
5. Wanua Macege,
6. Wanua Ujung, dan
7. WanuaTibojong.
Ketujuh wanua ini  bersatu dalam panji  WorongporongE. Bendera Bintang Tujuh menandakan tujuh negeri di bawah kepemimpinan Raja Bone pertama bergelar Matasi LompoE.( Penguasa/penjaga Laut dan tanah ).
Tetapi awal terbentuk kerajaan Bone ada beberapa wanua lain yang tidak bergabung dan cukup disegani pada waktu itu seperti Biru, Cellu, dan Majang. Sedang Bukaka atau Ciung kemungkinan masuk dalam wanua Tanete Riawang. Kerajaan ini mulai membangun wilayahnya dengan ibukota  Kawerang. Berada dalam wanua Tanete Riattang di tepi sungai Bone.
Sungai yang ramai digunakan oleh penduduk Bone sebagai alur transportasi penting untuk  menghubungkan wanua lain. Hulunya ada dua dekat Anrobiring di Palakka dan Pallengoreng sedang muaranya di Toro Teluk Bone.
Kota Kawerang sebagai pusat pemerintahan berasal dari nama tumbuhan yang disebut Awerang yang banyak tumbuh disekitar sungai Bone.(Sekarang terletak di jalan Manurunge Watampone.). Sejenis ilalang dan biasa tumbuh pada tanah lembab dan berair. Tingginya  kurang lebih dua meter. Mempunyai bunga jambul putih. Karena dominan tumbuh  di daerah tersebut  maka penduduk menyebut kampung Kawerang  yang berasal dari kata Engka-Awerang. Kemudian berubah sebutan menjadi Kawerang.
Sama dengan kampung-kampung lain seperti Kajuara karena Engka-Ajuara dan Kading karena Engka-Ading. serta Palanga karena Engka-Lengnga.
Kota Kawerang inilah Istana Raja Bone Pertama ManurungE ri Matajang berdiri. Istana menghadap sungai (letaknya sekarang diduga sekitar Jalan raya dibelakang kantor Korem 141 Toddopuli). Dalam lontara dikatakan bahwa istana itu berdiri dengan cepat sebelum bulisa’ nya mengering. Bulisa’ adalah sisa kulit kayu yang masih basah. Bahkan di tempat ini pulalah Tujuh Matoa bermusyawarah membentuk satu ikatan dalam pemerintahan Bone. Sistem pemerintahan ini disebut juga kawerang sesuai tempat musyawarah dilaksanakan.
Sistem Kawerang masing-masing matoa tetap menjadi penguasa di wilayahnya dan sekaligus menjadi dewan pemerintahan kerajaan Bone. Dan ini hanya berlangsung sampai Raja Bone ke-9 La Pattawe MatinroE Ri Bettung (Bulukumba) kira-kira pada tahun 1569.
Kawerang sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Bone awalnya hanya seluas sekitar sungai. Kemudian lambat laun berkembang seluruh wanua Tanete Riattang termasuk wanua Tibojong di seberang sungai. Seiring kemajuan kerajaan Bone batas wilayah wanua Tanete Riattang kira-kira sekarang  adalah batas Kantor Korem 141 tooddopuli membelok ke jalan Thamrin sampai sungai dan jalan ManurungE.
Pada Pemerintahan Raja Bone pertama lebih memfokuskan pada pembuatan aturan-aturan kemasyarakatan dan hukum ditegakkan. Juga menjalin hubungan dengan Kerajaan-kerajaan tetangga yang besar dan lebih tua seperti Kerajaan Awangpone, Pattiro, Palakka, dan Cina.
Sebagai politik Assiajingeng untuk meredam kembalinya zaman Sianre Bale dan  Permaisuri Raja Bone I adalah Manurunge Ri Toro mempunyai anak 4 orang yaitu La Umasa, I Pattanra wanua, We Tenri Salogo dan We Aratiga. Kemudian anaknya bernama Laumasa menggantikan ayahnya sebagai Raja Bone ke-2.
Pada zaman Raja Laumasa Raja Bone ke-2 berkuasa (1365-1398). Kota kawerang berkembang, baik jumlah penduduk maupun pemukiman sehingga kota meluas seluruh wilayah Tanete Riattang dan arah perkembangan kota  mulai begeser ke wanua Macege sebagai kampung industri pembuatan alat-alat pertanian dan senjata, utamanya Parang Cege.
Parang Cege (bangkung Cege), adalah parang yang bentuknya lebar. Macege berarti tempat pembuatan parang. Bahan baku besi didatangkan dari  Kelling dekat Lampoko. Raja Bone ke-2 La Umasa yang hobby dan ahli dalam pembuatan alat senjata dari besi. Mendirikan Istana di wilayah macege sehinggah ramai penduduk bermukim utamanya dekat kediaman baginda di Lassonrong.
Disekitar sumur Lassonrong. Lassonrong berasal dari nama istana raja La Umasa mempunyai beranda di belakang istana dan istana di kelilingi gundukan tanah liat diatasnya pagar bambu yang runcing sebagai benteng. Inilah yang disebut Sonrong. Lassonrong berarti istana yang mempunyai beranda belakang dan pagar benteng. Di beranda belakang istana tempat mallanro atau menempa besi milik Baginda.
Pada masa  pemerintahan Baginda banyak melakukan pengembangan wilayah baik dengan peperangan maupun dengan cara perkawinan. Baginda menaklukkan wanua Biru di selatan , wanua Cellu di timur dan Wanua Anrobiring dekat macege dan juga wanua Majang.
Tahun 1398 Raja La Umasa mangkat dan dimakamkan di jeppeE. Kampung yang ditumbuhi pohon Jeppe. Pohonnya besar dan tinggi menjulang. Sekarang wilayah itu  sekitar jalan Ahmad Yani watampone.
Semasa hidupnya La umasa bergelar Petta Panre BessiE dan juga bergelar Petta To Mulaiye Panreng (Yang pertama di makamkan) gelar anumerta. Baginda La Umasa juga yang pertama bergelar Mangkau. Mengambil tradisi leluhurnya ketika Bone purba sebagai kerajaan Wewangriu bergelar Mangkau. La Umasa mempunyai anak dua bernama To Suwalle dan To Salawakkang. Tetapi tidak menjadi Raja. Justru yang menggantikan La Umasa adalah kemanakannya. Anak Raja Palakka bernama La Saliyu Karempaluwa. Raja termudah dalam sejarah Kerajaan Bone.
LaSaliyu Karempalua sebagai Raja Bone ke 3 (1398-1470), dikisahkan,  penculikan dirinya ketika masih bayi usia baru beberapa hari atas perintah Raja Bone La umasa untuk menggantikannya karena anak La Umasa tidak memenuhi syarat menjadi Raja.
Lalu hasil musyawarah Matoa Pitu yang pantas menjadi Raja adalah anak  Raja Palakka La Pattikkeng sebab Ibunya adalah Saudara La Umasa anak dari ManurungE Anak Pattola. Hanya antara Raja Palakka La Pattikkeng dengan Raja Bone masih dalam pertikaian. Itulah sebabnya terjadi penculikan yang dipimpin oleh To Suwalle dan To Salawakkang.
Kisahnya perjalanan pulang dari Palakka setelah menculik bayi  LaSaliyu oleh Sepupunya, anak dari Laumasa sempat beristirahat disuatu telaga untuk memercikkan air dan membasuh muka bayi La Saliyu. Bayi itu bergerak bangun (Cokkong) maka disebutlah sumur itu Lacokkong dan kemudian menjadi tradisi turun temurun setiap anak Raja yang dilahirkan wajib mandikan air Lacokkong. Selain itu, disebut Laccokkong, dahulu sesudah La Ummasa Raja Bone Ke-2 daerah ini adalah daerah yang subur untuk pertanian. Artinya siapapun yang ditempatkan di wilayah itu, hidupnya akan makmur yang disebu Cokkong.
Masa pemerintahan Lasaliyu Kota Kawerang melebar ke Tanete Riawang. Karena di tempat itu berdiri Pasar hadiah dari Ayah La Saliyu Raja Palakka. Pasar tersebut sekarang menjadi Pusat pertokoan di dekat Tanah BangkalaE sebagai Pusat kota Watampone. Dan Istana Raja Bone ke-3 La Saliyu  berdiri berdampingan dengan Pasar di depan istana dibuat  alun alun disebut Tanah BangkalaE.
Dahulu Tanah Bangkalae berfungsi sebagai tempat berkumpul masyarakat  mendengarkan informasi dari Raja atau Pejabat Istana. Kemudian akhirnya menjadi tempat pelantikan Raja-Raja Bone yang dimulai dari Raja Bone ke- 4 We Banrigau. Tanah BangkalaE dijadikan pula pusat Bone. Possi Tanah. Maka perkembangan kota Kawerang meluas mulai Wanua Tanteriatang, Macege utamanya Lassonrong, Tibojong dan Wanua Taneteriawang  disebut To Kawerang, maksudnya orang kota. Adapun batas wanua Tante riawang Termasuk taman bunga dan sampai batas Bukaka dan batas di laccokkong sekarang.
Ketika Raja Bone Lasaliyu masih kanak-kanak, maka kedua sepupunya melaksanakan pemerintahan dengan tugas masing-masing:
  1. To Suwalle bertugas mewakili Raja Bone urusan pemerintahan kedalam sebagai Tomarilaleng kedalam sebagai Tomarilaleng I Kerajaaan Bone
  2. To Salawakka bertugas mengatur urusan pemerintahan keluar dan ini merupakan MakkedangngE Tanah I dari Kerajaan Bone.
Dalam pelaksanaan sehari-hari keduanya dibantu oleh para Matoa dari tujuh Wanua, setelah menanjak dewasa Raja Lasaliyu mengendalikan pemerintahan, namun tetap dibantu oleh kedua kakak sepupunya. Pada saat berangkat berperang atau kunjungan daerah (kerajaan palili) selalu membawa bendera dan Panji WorongporongngE dan CellaE. Juga baginda membagi Bone dalam tiga wilayah sesuai dengan pembagian bendera yaitu:
  1. Bendera WorongporongE: mambawahi negeri Matajang, Mataangin (Maroanging), Bukaka, Bukaka tengah (kampong tengngaE), Kawerang , Pallengoreng dan Mallayirang (Mallari) dikoordinasi oleh Matoa Matajang.
  2. CellaE ri Atau yaitu yang memakai umbul merah di sebelah kanan dari bendera WorongporoE dipergunakan oleh rakyat dari : Paccing, Tanete (dekat Palenggoreng), Lemo-Lemo ( Desa Carebbu ), Masalle (dekat Melle), Macege, dan Belawa (dekat Maccope). Dipimpin oleh To Suwalle digelar Kajao Ciung.
  3. CellaE ri Abeyo yaitu Negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri dari WorongporoE: Araseng, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padacengnga (desa Padaidi dekat Passippo) dan Madello (dekat desa Mico). Dipimpin oleh To Salawakka digelar Kajao Araseng.
Dalam Lontara disebutkan bahwa Raja ini menaklukkan Negeri Pallengoreng (sebelah selatan Biru), Sinri (dekat Majang), Sancoreng (Ponre), Cerowali, Apala, Bakke Tanete(cina), Attang Salo(dekat Katumpi), Soga, Lampoko, Lemoape, Bulu(dekat Cerowali), Parippung, dan Lompu, Limampanuwa ri Lau-Ale. Dan pada masa itu Palakka disatukan dengan Kawerang. Juga beberapa wanua datang bergabung secara sukarela. Sehingga kerajaaan-kerajaan tua seperti Cina, Pattiro, Awangpone, Barebbo dan Palakka sudah bergabung dengan Bone.
Baginda membuat perkampungan disebelah utara Kawerang dekat sungai Panyula dan Limpenno (muara sungai dekat Toro) sebagai tempat pelabuhan bagi perahu-perahu kerajaan di tambatkan bersama tempat tinggal pendayung dan petugas perahu Raja.
DARI KOTA KAWERANG MENJADI KOTA LALEBBATA.
Raja Bone ke-6 La Uliyo BoteE (1535-1560) adalah pendiri benteng kota sekaligus peletak sistem perkotaan yang tangguh sebagai kota yang mandiri dan modern pada zamannya. Baginda dikenal pandai cermat dalam perencanaan. Pada masa berkuasa baginda didampingi seorang penasihat terkenal Kajao Laliddong yang sering dijuluki Lamellong.
Kajao Laliddong yang dipercayakan mengarsiteki sekaligus pimpinan proyek (pimpro) dalam pembangunan kolosal membangun benteng Kota. Sehingga ada ungkapan ceritra rakyat Bone bahwa “Cicengmi narenreng tekkenna Kajao Laliddong natepui bentengE”.
LALEBBATA KOTA BENTENG
Benteng atau dalam bahasa bugis Lalebbata ini dibuat dari tanah liat diambil dari bukit bukaka. Benteng ini rata-rata tingginya 5 meter. Tebal dinding atas kurang lebih 2 meter dan Tebal dinding bawah (pondasi)15 meter. Sepanjang dinding luar benteng ditanami pohon bambu dan berbagai jenis pohon berfungsi untuk menahan dan mengikat tanah benteng.
Bahan Pembuatannya diambil dari sebagian tanah bukaka. Tapi dinding benteng bagian utara dan timur di samping dari Tanah Liat juga diambil dari tanah disekitar atau di dalam wilayah benteng untuk dijadikan persawahan.
Tehnik pada pembangunan benteng tidak memakai alat perekat tetapi teknik sederhana susun timbun yang mengikuti kontur tanah. Bukan terbuat dari batu merah atau dinding dari batu gunung yang sudah dipahat. Walau ada sebagian benteng memakai batu utamanya dibagian Pintu utama keluar.
Bentuk benteng Bone awalnya segi empat panjang. Kemudian Raja berikutnya melakukan penambahan tinggi benteng dan dipertebal dinding benteng oleh Raja Bone La tenrirawe. Hal inilah nama Kota Kawerang berubah menjadi Lalebbata. Sesuai bentuk kota yang baru dengan adanya benteng dan meluas hampir semua wilayah wanua pitu masuk dalam area benteng.
Pada 1630 Raja La madderemmeng berkuasa mengalami pelebaran Benteng  sebelah Timur dan Utara dan menambah bastion-bastion dekat SalekoE. Bentuk sudut benteng melingkar sebagai bastion dan dipasang meriam-meriam besar. Apalagi  suasana politik ketika itu memanas dengan kebijakan Baginda penghapusan perbudakan. Model Benteng berubah dari segi empat panjang menjadi trapesium. Selain ada pintu Utama Benteng (Seppa Benteng) juga disetiap sisi benteng ada pintu-pintu untuk akses masuk bagi penduduk. Benteng ini dibuat sebagai alat pertahanan juga sebagai pusat pemerintahan. Oleh karena sumber kekuasaan berada di istana maka peletakan benteng juga berperan untuk pertahanan pusat-pusat hunian dan sumber daya yang ada disekitarnya.
JEJAK BENTENG
Jika  menyelusuri Benteng dimulai dari sudut sebelah selatan kota,  benteng berdiri di atas jalan Kalimantan sekarang terus ke timur melewati pinggir jalan Kawerang melalui persawahan dekat sungai Bone. Di tempat itu berdiri bastion. Lalu ke timur lagi dekat jalan Pramuka disebut Diattang Benteng. Kemudian membelok ke Utara dan di sudut benteng itu terdapat Bubung LoppoE (sumur besar) digunakan untuk persediaan air bagi prajurit Bone.
Ke utara benteng melalui persawahan dekat mesjid jalan Bajoe dan disebut Seppa BentengE. Dan membelok ke arah barat di atas jalan, pada sudut benteng  membulat sebagai bastion tetapi ada pula pelebaran benteng dekat Salekoe juga berdiri Bastion-bastion.
Diatas jalan  menuju Bukaka membelok ke utara kira-kira 200 meter ke arah barat menuju Bukaka dekat Bubung Lagarowang. Komplek kuburan KalokkoE masuk dalam  benteng. Disebut Awang Benteng dari Bukaka menuju ke selatan antara jalan Makmur dengan jalan Benteng adalah bekas benteng  dan bertemu di jalan Kalimantan dekat Kantor Dinas Kesahatan.  Benteng-benteng ini hancur akibat peperangan utamanya dalam perang Bone dengan Belanda. Pada tahun 1920-an benteng-benteng ini umumnya diambil tanahnya dijadikan jalan raya, seperti bagian selatan kota Watampone benteng itu dijadikan jalan Kalimantan sekarang dan begitupula  Lapangan Persibo ditimbun dari tanah benteng yang dahulu adalah persawahan.
WATAMPONE
Ibukota Lalebbata kerajaan Bone berakhir tahun 1905. Ketika Tentara Belanda menaklukkan Bone dengan hasil musyawarah pada tanggal 24 Agustus 1905. Kota Lalebbata berubah menjadi Watampone pada musyawarah Ade Pitu bersama Hindia Belanda di Bola SubbiE Istana Raja La Pawawoi Karaeng Sigeri.
Istana kebanggaan Kerajaan Bone berukir dan besar menghadap Taman Raja atau sekarang Taman Bunga. Kemudian Istana ini di pindahkan ke Makassar dan berdiri di depan Karebosi sebagai tanda penaklukan Bone. Dan kembali ke Bone pada tahun 1922 atas permintaan Rakyat Bone Tetapi sayangnya Istana Bola SubbiE tidak utuh lagi.
Watampone yang berarti Pusatnya Bone. Zaman pemerintahan Hindia Belanda Penataan Kota dibangun. Area kota ditata mulai Wilayah ekonomi, Agama dan pendidikan, pemerintahan dan kalangan bangsawan. Jalan-jalan dibuat, Pohon Asam dan Kenari ditanam di pinggir jalan. Taman ditata seperti Koning Plein atau Taman Raja sekarang jadi Taman Bunga. Dan bangunan bangunan berciri Kolonial didirikan. Istana Raja Bone dibangun untuk menggantikan Istana Bola SubbiE menjadi Kantor Dewan Adat Pitu(Perpustakaan Umum Daerah sekarang di Jalan Merdeka). Yang dipersiapkan Raja Bone La Mappanyukki pada tahun 1930 (Meseum Lapawaoi sekarang).
Bola Soba dipindahkan di jalan Veteran sebagai markas Marsose dan dididrikan Rumah Pejabat Hindia Belanda dengan sebutan Tuan Petoro Bottoa(Controler Residen). Dan Tangsi-tangsi militer dan juga Rumah Sakit.
tahun 2016 Bone telah berusia 686 tahun tetapi jauh dari usia itu Tanah Bone telah ada dengan penduduknya. Sudah tiga kali pergantian nama Ibukota sejak tahun 1330 sampai sekarang . Tetapi penduduknya masih tetap dan senang menyebut ibukotanya dengan sebutan Bone.
Kota Watampone telah menyimpan sejarah panjang dengan penduduknya  tetapi tidak memperlihatkan suatu kota sarat sejarah masa lalu apalagi sebagai ibukota kerajaan Bugis terbesar. Oleh karen itu saatnya sekarang bangunan-bangunan tua bersejarah dan situs-situs perlu dipertahankan dan dilindungi sebagai identitas kota tua.
Jika sekarang mau bangun Bone mestinya atau paling tidak pelajari dulu sejarahnya, agar yang dibangun itu bernilai edukatif yakni bisa memberikan informasi dan pembelajaran kepada generasi.



Sumber : www.telukbone.com

Tidak ada komentar: