Ketika seorang pemuda bugis menaruh hati pada seorang gadis bugis, maka disampaikanlah kepada orang tuanya untuk melamarkan gadis idamannya itu. Orang tua kemudian mempertimbangkan pilihan sang anak dan memanggil kerabat yang mengenal dengan baik keluarga gadis tersebut. Jika sang kerabat bersedia, maka sang pemuda dan kerabat yang ditunjuk akan bertamu ke rumah orang tua si gadis bersama sang pemuda, membawa oleh - oleh dan menyampaikan keinginan untuk mempertemukan keluarga. Kunjungan tersebut dalam adat bugis disebut “mappese- pese” (pendekatan). Jika respon keluarga perempuan baik, maka ditetapkanlah waktu untuk madduta ( melamar). Cara ini dianggap lebih beradat daripada penyampaian langsung pemuda ke keluarga perempuan, atau lewat anak gadis tersebut ke orang tuanya.
Namun jika sang pemuda berasal dari daerah lain, maka tidak masalah jika sang pemuda yang langsung menyampaikan niatnya untuk melamar langsung kepada orang tua si gadis, namun pengambilan keputusan soal diterima tidaknya belum bisa diambil orang tua meskipun itu adalah calon menantu idaman. Kata terima atau tolak dan jumlah “uang panai” hanya bisa ditentukan oleh forum kerabat (rumpun keluarga) pada saat prosesi lamaran nantinya. Meskipun tidak ada salahnya menyampaikan ke orang tua si gadis kemampuan finansial anda jika memang sudah dekat, atau lewat si gadis.
Tahap 2 : Massuro atau Madduta ( Melamar)
Setelah ditetapkan waktu untuk acara “madduta”, keluarga kedua belah pihak sudah mulai sibuk. Mengundang kekuarga terdekat dan tokoh masyarakat dilingkungannya untuk mengikuti prosesi tersebut. Keluarga pihak laki-laki menunjuk (pabbicara) juru bicara disertai rombongan yang cukup dari kerabatnya. Orang tua dari permuda yang ingin melamar tidak boleh ikut serta dalam acara lamaran ini, demikian juga dengan pemuda yang ingin dilamarkan, . Jumlah rombongan keluarga laki-laki tidak terlalu banyak, paling sekitar 10 orang sudah dianggap cukup . Dari pihak perempuan mengundang kerabat terdekat untuk menghadiri acara lamaran, Juga ditunjuk juru bicara dari pihak keluarga perempuan.
Acara ini adalah bagian dari acara adat yang resmi ,rombongan keluarga laki- laki yang madduta berpakaian lengkap, untuk laki-laki memakai jas, songkok, dengan bawahan sarung. Sedangkan perempuan memakai kebaya atau pakaian yang sopan lainnya. Keluarga perempuan menyiapkan jamuan yang sepantasnya bagi tamu yang hadir.
Dalam acara ini, dikenal istilah “mamanu’ -manu’ ” (pantun ayam)yang menjadi kiasan proses lamaran. Dalam proses tersebut, juru bicara pihak laki- laki mungatarakan maksud kedatangannya. Keluarga perempuan kemudian mengajukan jumlah ” dui menre”(bugis) atau “uang panai”(makassar) dan sompa ( persembahan). Proses tawar menawar pun dilakukan dengan bahasa yang sopan ( bahasa bugis yang halus). Untuk jaman sekarang besarnya uang panai untuk status sosial menengah kebawah sebesar (15 - 50 jt). Sedangkan untuk yang memiliki status sosial tinggi ( bangsawan, orang kaya dan anak gadisnya memiliki pekerjaan yang mapan bisa mencapai (100-500 jt). Jumlah uang panai juga sangat ditentukan, pendekatan sang pemuda pada keluarga perempuan, penilaian keluarga perempuan terhadap pemuda dan kemampuan negosiasi pabbicara. Jumlah uang pesta yang besarnya tidak pantas ( de na sitinaja), tidak wajar jika dibandingkan dengan harga rata- rata yang ada dengan staus sosial, pendidikan dan pekerjaan si gadis maka bisa jadi pertanda penolakan secara halus. Jika pihak keluarga laki-laki telah menyetujui, maka dibicarakanlah waktu untuk “mappenre dui”( mengantarkan uang pesta) sekaligus ” mappetu ada”(menentukan hari). Jika pihak laki - laki tidak menyanggupi “uang pesta” yang diminta, maka bisa meminta waktu, dan melakukan negosiasi dibelakang layar kemudian mengulangi proses lamaran.
Tahap 3 : Mappenre dui/ Mappetu ada.
Proses ini sudah dianggap bagian dari pesta, pihak keluarga perempuan sudah mengundang kerabat dan para tetangga untuk menyaksikan proses mappenre dui tersebut. Pada acara tersebut semua yang hadir berpakaian formal. Pihak laki- laki juga menyiapkan rombongan yang besar, sebanyak- banyaknya untuk menunjukkan bahwa mereka adalah rumpun keluarga yang besar. Diantara rombongan ada gadis -gadis yang memakai “baju bodo”, dan dengan jas tutup songkok tobone dengan membawa bosara ” tempat khas bugis” yang berjumlah masing-masing 12 orang. Bosara ini diisi dengan perlengkapan pengantin perempuan sebagai pengiring uang panai. Isi bosara biasanya adalah emas, pakaian, sepatu, make up. Selain uang panai yang sebagian diberikan dalam bentuk cash sebagai simbol. Pada jaman dulu semuanya dalam bentuk cash dan dihitung oleh saksi yang hadir. Proses mappenre dui memperlihatkan pada kerabat jumlah uang pesta dan sompa ( persembahan). Sompa bisa berbentuk tanah, kebun atau emas yang diberikan kepada mempelai wanita ( menjadi hak sepenuhnya wanita, tidak boleh diambil meskipun bercerai). Setelah proses ini, baru kemudian dibicarakan hari baik untuk melakukan akad nikah atau pesta. Ada kalanya proses akad nikah dilakukan bersamaan dengan mappenre dui, kemudian pestanya di tunda jika disepakati sebelumnya, hal ini disebut dengan “kawin soro”. Namun sekarang prosesi a “mappenre dui ” ini dihilangkan atau satukan dengan acara akad nikah agar lebih efisien. Jadi iring iringan gadis pengantar bosara dapat dilihat pada saat hari pernikahan.
Dalam tradisi bugis, proses yang mendahului sebuah upacara adat perkawinan, sebelum seorang pasangan pengantin naik ke pelaminan, salah satunya adalah ‘madduta’ seperti yang disebutkan diatas, dan sebelum madduta, ada proses ‘mappesek – pesek’ mendahuluinya. Mappesek – pesek adalah suatu kegiatan menyelidiki untuk mengetahui apakah seorang gadis yang telah dipilih itu belum ada yang mengikatnya dan apakah perangai dan karakternya baik atau terpuji. Biasanya yang melakukan mappesek – pesek itu adalah seorang wanita dari pihak keluarga laki – laki yang datang bertamu ke pihak keluarga perempuan. Dalam kegiatan mappesek – pesek ini wanita yang sebenarnya merupakan utusan khusus ini menyembunyikan maksudnya bertamu, dia hanya bertanya tentang keluarga pihak perempuan, memperhatikan cara bicara dan bertutur keluarga perempuan terkhusus kepada anak gadis yang akan dilamar. Meskipun pada kenyataannya pihak keluarga perempuan pasti bisa menebak seorang wanita yang datang bertamu ke rumahnya, apalagi dengan banyak bertanya tentang anak gadisnya.
Madduta artinya mengirim utusan untuk mengajukan lamaran dari pihak keluarga laki - laki untuk seorang perempuan. Utusan ini (disebut mallino) bukanlah sembarang orang yang diutus, tapi seorang yang dianggap bijaksana dan terpercaya bagi pihak keluarga laki – laki. Utusan ini nantinya berhadapan langsung dengan orang tua si gadis atau wakil dari orang tua sigadis yang akan dilamar, sehingga harus menjaga bicaranya dengan sangat hati – hati, jangan sampai salah menempatkan bicara sehingga lamaran bisa ditolak. Dan atas kepentingan kedatangan to madduta (utusan yang akan melamar ini), oleh orang tua si gadis saya dipercayakan sebagai wakil dari pihak keluarga perempuan. Peran saya sebagai wakil dari To riaddutai (pihak keluarga yang akan dilamar) sama pentingnya dengan To madduta (pihak keluarga yang yang datang melamar), sama – sama menentukan kesuksesan sebuah proses menuju perkawinan.
Permintaan keluarga itu akhirnya saya sanggupi. “Iye, Insya Allah”, jawab saya. Dua malam lalu, Rabu (15/6), kedatangan to madduta kami terima di rumah keluarga tersebut. Rombongan to madduta ada lima orang, semuanya orang tua yang tentu saja sudah berkeluarga dan sudah banyak makan asam garam pengalaman, sedangkan kami dari pihak To-riaddutai (pihak keluarga yang dilamar juga lima orang, orang tua si gadis, dua neneknya dan saya sendiri. Pada tahap ‘madduta’ ini masih bersifat rahasia, hanya orang tertentu saja yang boleh mengetahuinya. Hal tentu disebabkan karena perkawinan adalah hal yang sensitif bagi masyarakat Bugis Makassar, kalau prosesnya gagal bisa berujung siri’ (malu dan terhina, harga diri tersinggung) pada kedua pihak keluarga. Jadi, peran saya sebagai jubir (wakil dari pihak keluarga yang dilamar) disini sangat penting, jika salah bicara, pada kasus tertentu bisa berujung dendam dan dalam kasus ekstrim bisa berbuntut pembunuhan (saling bunuh).
Setelah kami bersalam – salaman menerima tamu to madduta, saling duduk dan melempar senyum, akhirnya juru bicara dari pihak to madduta memulai pembicaraan, “Duami kuala sappo, Unganna panasae, belo – belo kanukue. Jejaroro bunga rositta, Tepu tabba toni, Engkana ga sappona”, tanyanya. (Artinya : Dengan hati yang jujur dan murni, kami datang membawa berita bahagia, menyampaikan niat suci. Bunga mawar itu nampaknya sudah mekar, apakah sudah ada yang menyimpannya ?).
Mendengar maksud kedatangan To Madduta yang diungkapkan dengan sangat baik tersebut, sayapun menjawabnya dengan balik bertanya, “Dekgaga pasa’ riliputta, balanca ri kappongta, mulinco mabela ?” (Artinya : Apakah tak ada gadis di negeri tuan, sehingga jauh mencari ?). “Engkana pasak ri liputta, balanca ri kampongta, naekiya nyawani kusappa”, jawabnya. (Artinya : Ada juga gadis cantik di negeri kami, tetapi bukan kecantikan yang kami cari, melainkan budi pekerti yang baik).
Lalu saya kembali bertanya, “Iganaro elo ri bungatta, bunga tammadaunnge, bunga tamattakkewe”. (Artinya : Siapakah yang akan memetik anak kami, anak yang belum tahu apa – apa ?). Pertanyaan itu dijawab oleh To Madduta, “Taroni tammadaung, taroni tammatakkek, belo – belo temmalatek”. (Biarlah tidak tahu apa – apa, karena perhiasan yang tak kunjung layu, akan kujadikan pelita hidupku).
Proses pelamaran berjalan dengan baik. Maksud baik To Madduta tersebut untuk menjalin dan menyatukan dua keluarga akhirnya kami sanggupi dan mengunci maksud kedatangannya tersebut dengan jawaban, “Ko makkoitu adatta, sorokni tangngakka, nakutangnga tokki”. (Artinya : Bila tekad tuan demikian, kembalilah tuan, pelajarilah kami dan kami akan mempelajari tuan). Pembicaraan selanjutnya setelah maksud To madduta diterima adalah pembicaraan yang ringan – ringan saja tentang kondisi keluarga masing – masing, pihak keluarga to-riaddutai menerima antaran sirih pinang dari pihak keluarga to madduta.
Jika sudah tercapai kesepakatan, boleh dibilang tahapan proses ‘madduta’ sudah selesai, proses selanjutnya disebut Mappettu Ada, biasanya langsung dilanjutkan pembicaraan dari Madduta ke proses Mappettu Ada, maksudnya supaya lebih ringkas, namun lebih banyak yang menyepakatinya di hari lain saja, di waktu yang berbeda, dengan mengabarkannya kepada seluruh keluarga bahwa proses menuju perkawinan sudah benar – benar serius dari kedua pihak keluarga. Demikianlah pengalaman singkat saya sebagai jubir dari pihak keluarga yang dilamar. Pembicaraan ringkas, tapi memerlukan sedikit pengetahuan budaya untuk menyanggupinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar